Welcome to Widodo's Blog

Membaca untuk mengambil hikmat
Merenung agar bisa lebih bijak
Memahami supaya tak salah menerima

Laman Utama

Sabtu, 01 Juni 2013

Bukan Aku, Tapi Kristus





Bahan Renungan: Galatia 2: 15 - 21

Menjadi orang kedua tidaklah enak. Bukan yang utama / pertama. Bukan orang yang  menonjol atau populer. Kita bisa saja begitu bekerja keras menyelesaikan pekerjaan atau bagian kita tapi mungkin bisa jadi orang lain yang malah mendapatkan penghormatan atas apa yang telah kita upayakan / selesaikan. Menjadi pribadi yang seakan terabaikan / terpinggirkan / dilupakan.

Seorang Yohanes Pembaptis menjadi contoh yang kita kenal sebagai perintis jalan bagi datangnya sang Mesias. Dia berseru-seru pada semua orang untuk bertobat dan memberi diri dibaptis juga mewartakan akan datangnya Mesias yaitu Yesus Kristus, Sang Anak Domba Allah. Ketika pelayanan Yesus Kristus dan murid-muridNya makin besar. Dan banyak murid Yohanes pembaptis yang berubah menjadi pengikut Yesus.
Namun, alih-alih merasa tersaingi malahan Yohanes Pembaptis merasa bangga karena memang demikianlah tujuan pelayanannya yaitu untuk mengarahkan orang pada Kristus, itu adalah sukacitanya.

Berbesar hati ketika orang lain lebih menonjol adalah sikap yang tidak mementingkan diri sendiri. Keegoisan mampu dikalahkan oleh sikap kedewasaan yang mampu melihat kebaikan pada diri orang lain. Ini tidaklah mudah. Kita dari kecil telah terbiasa dengan pengajaran untuk meraih sesuatu, mencapai prestasi setinggi mungkin, mendapatkan lebih banyak dari apa yang ada sekarang.

Sebagai orang tua seringkali juga hal itu yang kita ajarkan pada anak-anak kita. Tuntutan yang begitu besar pada anak untuk bersaing dengan teman-temannya dengan peraihan nilai yang lebih dari yang lain. Jarang ada orang tua yang mengatakan:”Yach sudahlah, Nak, ga papa, kamu ga sepeti dia kok. Kamu special. Terima kamu apa adanya.”

Inipun yang akhirnya bisa saya mengerti kenapa ayah saya begitu kecewa pada saya yang gagal menyelesaikan kuliah. “Masakan kamu ga bisa lulus kuliah padahal sering menjadi Juara Kelas??”
Prestasi, prestasi, dan prestasi. Itu yang seringkali dituntut orang tua pada anak-anak. Tanpa peduli kalau anaknya itu sedang kepayahan atau merasa tidak nyaman dengan apa yang sedang dia kejar. Bisa jadi seorang anak meraih prestasi dengan baik tapi itu mungkin itu adalah wujud dari ketakutannya pada orang tuanya saja.

Dalam pelayanan maupun di sebuah perusahaan seringkali tuntutan terbesar adalah prestasi, sebuah raihan atau pencapaian atas target atau terlaksananya program. Apabila kita terperosok pada tuntutan itu, maka kita hanya akan sekedar pada pelaksanaan program semata. Yang penting jalan. Yang penting ada kegiatan. Tidak ada spirit / semangat yang hidup dalam menjalani pelayanan atau bekerja di sebuah perusahaan. Kita bukanlah terdiri dari angka-angka yang menjelaskan arti diri kita. Tapi kita adalah pribadi yang berharga, yang unik di mata Tuhan.

Tuhan punya rencana yang unik bagi setiap kita. Jikalau Tuhan menempatkan kita dalam sebuah persekutuan jemaat, itu berarti kita diminta menyatakan makna hidup kita dalam persekutuan tersebut.
Pemberian diri dan hidup kita dengan segala apa yang bisa kita berikan untuk pembangunan jemaat menjadi satu hal berarti ketimbang kita dinilai hanya sebagai alat untuk pencapaian program atau sasaran yang telah ditetapkan di dalam jemaat.

Inipun seringkali menjadi pergumulan saya pribadi di GKI Tegal. Apakah ketika saya di sini, saya hanya akan dipandang sekedar sebagai seorang pekerja saja? Apa kontribusi yang bisa saya berikan untuk pembangunan jemaat? Apakah keterlibatan saya yang bisa memberikan andil di jemaat bukan semata-mata hanya sekedar menyelesaikan pekerjaan saya saja, itu cukup?


Ketika saya berada disini untuk memimpin Kebaktian Doa Pagi ini bukanlah karena mengajukan diri. Tapi pada waktu itu, saat kekurangan pemimpin KD pagi, mbak Prima mengajukan saya untuk juga dijadwalkan. Ini menjadi problem tersendiri bagi saya ketika saya harus berbagi iman dengan Bapak/Ibu disini karena umur saya masih jauh lebih muda dibandingkan yang hadir disini. Tidak mudah bagi saya. Lebih mudah kalau menyampaikan pelajaran Agama di SMU di Bogor dimana siswa-siswi jauh lebih muda dari saya. Namun ketika disini, saya menganggap Bapak/Ibu jauh memiliki pengalaman iman lebih daripada saya. Namun bila kesempatan ini diberikan, itu berarti saya pahami sebagai panggilan Tuhan untuk saya bisa memberikan kontribusi pada jemaat di sini.

Itulah kenapa juga saya tidak asal-asalan untuk menyampaikan renungan. Renungan yang saya bawakan haruslah menjadi perenungan atau pergumulan iman yang pernah saya alami bersama Tuhan. Bukan cuma pengetahuan semata yang bisa kita dapatkan dari buku atau internet. Tinggal membacakan.
Pernah suatu kali saya menghadapi masalah serius menjelang akan membawakan renungan. Dan saya konsultasikan ke Bu Pris, apakah saya lebih baik mengundurkan diri terlebih dahulu atau bagaimana? Beliau memberikan saran yang menurut saya bijaksana yaitu tetap lanjutkan saja, karena dengan berbagi pergumulan iman saya dalam menghadapi masalah itu akan menjadi kesaksian yang bisa menguatkan jemaat.

Ya, saya mengamini hal itu. Firman itu haruslah menjadi daging. Artinya apa yang Tuhan ajarkan pada kita haruslah mendarah-daging dalam hidup kita. Kita gumuli, kita renungkan apakah prisnsip-prinsip atau tingkah laku kita sudah sesuai dengan firman Tuhan atau belum? Mengapa belum? Mengapa tidak sesuai? Itulah yang kita cari penyebabnya. Kita bisa belajar dari orang lain. Kita bertanya. Kita mencari jawaban dan jalan keluar.

Karena satu hal yang harus tetap menjadi iman kita bersama bahwa kita harus mau mengubah diri dengan mengijinkan Roh Kudus bekerja mengubahkan kita. Karena bukan lagi diri kita sendiri yang ada tapi Hidup Kristus yang telah dianugerahkan kepada kita ketika kita percaya kepada-Nya. Perubahan itu adalah sebuah proses dan terus berkelanjutan. Kadang kita gagal hidup di dalam Tuhan. Kadang kita jatuh dalam dosa yang menjauhkan kita dari hadirat Tuhan.

Namun anugerah Tuhan jauh lebih besar daripada dosa-dosa kita. Anugerah-Nya penuh kuasa untuk menyelamatkan kita. Hidup Kristus itu akan terus mendorong kita untuk ke arah yang lebih baik dan meninggalkan kegelapan. Oleh karena itu, kita harus memberikan kesaksian yang jujur, yang apa adanya, yang tidak bisa ditutup-tutupi. Karena memang hidup Kristus itu seperti terang yang mengusir kegelapan.

Ini juga yang sering kali menjadi penghiburan bagi saya ketika jatuh. Saat dimana seakan tidak ada pertolongan, tidak ada harapan, tersesat. Dengan berseru kepada Tuhan, Dia tidak tinggal diam. Ada kekuatan yang bukan dari diri saya yang memampukan saya untuk bangkit dari keterpurukan. Seperti suatu energi baru untuk memampukan melangkah bahkan mampu mengatasi rasa bersalah yang melumpuhkan.

Kita mungkin akan lebih mendengarkan orang luar yang tidak kenal-mengenal dengan kita daripada dengan orang yang dekat dengan kita. Karena orang-orang terdekat kita adalah orang-orang yang kita tahu dan kenal tingkah lakunya. Seringkali kita cepat menghakimi apa yang disampaikannya atau mencibir “Akh, aku sudah tahu belangmu / kelemahanmu”. Tapi cobalah orang luar tersebut kita ajak masuk dalam persekutuan kita. Apakah nanti  respon kita akan sama dengan ketika pertama kali ia berbicara kepada kita? Saya tidak yakin akan sama.

Itu juga kenapa kita diminta untuk terus mendoakan pemimpin-pemimpin kita agar tidak menjadi batu sandungan. Agar mereka bisa memimpin dengan keteladanan yang baik yang menguatkan bukan malah melemahkan. Kita telah belajar banyak tentang hal tersebut.

Ini juga yang mungkin menjadi alasan banyak orang enggan untuk menjadi pemimpin. Tidak mau hidupnya disorot. Meminjam istilah Bu Elizabeth “Hidup di dalam rumah kaca”. Dipantau. Menjadi bahan omongan orang banyak.
Menjadi biasa-biasa saja jauh lebih nyaman. Saya perhatikan itu juga menjadi alasan penolakan orang untuk terlibat dalam pelayanan atau diminta untuk menjadi panitia. Akh, saya bukan orang yang baik-baik, masih banyak yang lebih baik daripada saya. Tidak mau ambil resiko.

Padahal entah sebagai jemaat biasa atau pemimpin jemaat, sama saja kita dipanggil untuk tetap menjadi saksi Kristus. Kita diminta menyatakan Kristus dalam hidup kita. Entah dalam masa sulit atau masa enak, entah waktu kita jatuh atau dalam kejayaan. Tuhan tetap dapat bekerja dalam segala perkara dalam hidup kita entah kita sadari atau tidak.

Maukah kita tetap hidup di dalam Tuhan atau menolak berproses bersama Dia?
Maukah kita dibentuk dalam Dia melalui persekutuan, pelayanan dan kesaksian kita dalam jemaat di sini?
Biarlah itu menjadi perenungan kita bersama. Amin.

Tegal, Septa Widodo Munadi
(disampaikan pada Kebaktian Doa Pagi @GKI Tegal - 22 Januari 2013)


Lagu:  NKB 21:1,2
       NKB 104:1,2


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ads Inside Post