Welcome to Widodo's Blog

Membaca untuk mengambil hikmat
Merenung agar bisa lebih bijak
Memahami supaya tak salah menerima

Laman Utama

Selasa, 04 Januari 2011

Terapi Api Arang (Bagian 2) Proses Memulihkan Semangat yang Patah

Bagaimana rasanya apabila seseorang yang begitu menggebu-gebu yakin akan dirinya sendiri dan akan apa yang diyakininya tahu-tahu… puhhh…!!! semuanya runtuh berkeping-keping ketika dia menyangkali keyakinannya itu sendiri? Bagi seorang yang idealis, itu jauh menyakitkan lagi karena integritasnya hancur, kredibilitasnya berantakan dan ia takkan sanggup percaya pada dirinya sendiri. Keyakinan yang teguh sebagai modal bagi dirinya untuk menjalani hidupnya itu sekarang goyah. Betapa malu, sedih, kecewa dan geram pada diri sendiri. Menekan dan menyiksa yang cenderung membawa pada perusakan diri sendiri. Maksudnya melarikan diri pada hal-hal yang tidak bertanggung jawab. Menarik diri dari persekutuan. Akhirnya mengucilkan diri sendiri sebagai hasil dari penghakiman diri sendiri.

Hal tersebut itulah yang dirasakan oleh Simon Petrus. Rasul Yesus Kristus yang pernah dipuji karena pengakuan imannya (Mat 16:16) dan bahkan oleh pengakuan imannya itulah gereja Tuhan didirikan yaitu Yesus sebagai Mesias, Anak Allah yang Hidup. Sungguh ironis memang, orang yang sama itu adalah orang yang juga menyangkali Tuhannya sampai 3 kali. Dalam ketiga kitab Injil Sinopsis memang diberitakan bahwa dia pergi keluar dan menangis menyesal. Sebagai ungkapan ekspresi yang wajar bagi seseorang yang mengakui bahwa dirinya telah melakukan kesalahan. Bahkan mungkin bagi kita sekarang akan bilang itu keterlaluan, parah dan akan membela diri bahwa kita takkan mungkin melakukan kesalahan itu bila dalam posisi seperti dia. Seperti juga yang pernah dinyatakan oleh Simon Petrus bahkan sampai bersumpah kalau ia takkan menyangkali Tuhannya (Mat 26:35). Namun ternyata kisah penyangkalan itu tercatat dengan jujur pada keempat kitab Injil tanpa melembutkan kejadian yang terjadi.

Dalam kitab Injil Yohanes, tidak tercatat Petrus menangis dan menyesal setelah kejadian itu. Tapi bukan berarti Yohanes menganggap penyesalan Petrus tidaklah penting. Penulis Injil Yohanes dengan sengaja mengajak pembacanya pada peristiwa setelah kebangkitan Tuhan Yesus di tepi danau Tiberias dimana telah terjadi proses pemulihan yang luar biasa yang dilakukan Tuhan Yesus terhadap Simon Petrus. Tuhan Yesus membawa Simon Petrus pada pengalaman-pengalaman yang akan mengingatkan kenangannya bersama Yesus terlebih pada peristiwa penyangkalan itu. Saya kemudian menyebut proses ini sebagai Terapi Api Arang.

Mengapa saya bilang terapi api arang? Karena menurut saya, api arang tercatat di kedua bagian tersebut. Di saat malam dingin waktu Yesus di bawa ke rumah Hanas, Mertua Imam Besar, Petrus menyangkali Tuhannya 3 kali di sekitar api arang dan berdiang di sana. Demikian juga, ketika Tuhan Yesus yang telah bangkit itu menemui Petrus dan kawan-kawannya di tepi danau Tiberias, Ia membuat api arang untuk membakar ikan untuk sarapan. Di depan api arang inilah Yesus 3 kali bertanya pada Simon Petrus tentang kasihnya pada Tuhannya dan 3 kali pulalah Ia sampaikan tugas baru padanya. Terapi dilakukan biasa pada proses penyembuhan penyakit sebagai tindakan atau perlakuan yang disengaja supaya yang sakit sembuh atau pulih.

Terapi api arang adalah sebuah titik penghubung keadaan masa lalu dan masa depan. Diantara penyesalan dan harapan, antara kegagalan dan pemulihan. Titik penghubung itu dipakai Tuhan untuk memulihkan semangat yang patah akibat penyesalan akan dosa, pelanggaran atau kegagalan masa lalu. Seperti arang yang mudah patah, titik penghubung itu akan membawa kenangan pahit dan memalukan yang pernah terjadi. Namun demikian, akan menjadi indah bila Tuhan sanggup mengubah semua itu. Bila Ia telah mengisi makna baru pada kenangan itu maka akan menjadi suatu peristiwa yang akan membangkitkan semangat hidup.

Pada peristiwa penyangkalan, Simon Petrus berdiang di depan api arang supaya ia tetap hangat di tengah dinginnya malam. Dia butuh kenyamanan. Keinginannya mengikuti proses peradilan Tuhannya itu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi di tengah kerumunan orang yang berdiang di depan api arang. Kenyamanan, itulah alasan yang mungkin dimilikinya untuk menyangkali Tuhannya. Dia ingin tetap hidup –takut kehilangan nyawanya- walaupun sebelumnya ia bersumpah akan membela Tuhannya sampai mati. Takut. Itu bertolak belakang dengan sikap Tuhan Yesus yang tegas dalam pengajaran-Nya di depan umum dan tak ada yang disembunyikan. Ia berani menyatakan kebenaran. Dan karena kebenaranlah Ia akhirnya disalibkan. Namun pada waktu itu pula Simon Petrus tak berani mengakui imannya.

Kenyamanan hidup yang seperti apakah yang mungkin seringkali membuat kita seperti Simon Petrus saat menyangkali Tuhannya? Kenyamanan hidup yang mendukung kita untuk bisa tetap hidup akan sangat mengoda iman kita pada Tuhan kita. Kondisi yang memungkinkan supaya kita bisa diterima oleh orang lain seperti posisi, jabatan atau pekerjaan. Bahkan seringkali orang rela menggadaikan imannya agar mendapatkan seseorang yang dicintainya. Sayang sekali?! Demi kekayaan dan kekuasaan, sering kita tergoda untuk meninggalkan cara hidup yang Tuhan Yesus ajarkan. Padahal semua itu mudah hancur seperti sesuatu yang terbakar api menjadi seonggok arang saja. Gampang patah.

Kegagalan dalam mengambil keputusan hidup itu membuat kita patah arang. Tak berani melangkah. Melumpuhkan semangat berjuang. Tidak ada orang yang suka dikatakan sebagai orang gagal. Yudas Iskhariot yang sudah menyesal telah mengkhianati Yesus dan menyerahkan-Nya pada tua-tua dan ahli-ahli taurat akhirnya mengembalikan uang upahannya sebagai bukti penyesalannya. Namun mereka menolaknya dan hal itu membuat Yudas Iskhariot putus asa sehingga ia mencap dirinya orang gagal sampai dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Simon Petrus pun bisa dikatakan sebagai orang yang gagal. Dia yang mengalami pengalaman-pengalaman yang luar biasa bersama Yesus, tokh tak berani mengakui mengenal Yesus. Tapi kemudian dia pun menyesal. Namun demikian, dia pasti masih mengingat akan apa yang Tuhan nyatakan bahwa dia akan menyangkali-Nya tapi dalam kemahatahuan-Nya pula, Tuhan Yesus menguatkan Petrus tokh akhirnya ia akan insyaf dan diminta untuk meneguhkan saudara-saudaranya. Janji itulah yang akhirnya menguatkannya untuk bangkit. Dia memang gagal tapi ia tak malu-malu untuk menangis. Kadang ada orang yang berkeras hati tahu bahwa ia telah gagal tapi tidak mau mengakui dengan jujur kalau ia gagal. Malah penuh dengan penyangkalan. Menutup-nutupi. Saya pikir Petrus seorang yang berjiwa besar. Ia tidak malu mengakui kalau ia telah gagal. Dia menangis. Mungkin dunia akan bilang itu adalah tanda kelemahan apalagi seorang pria. Kata mereka “Jangan ada airmata!”. Menangis seringkali dipakai Tuhan untuk menghapus luka hati. Air mata seperti minyak yang meminyaki luka-luka itu. Memang kegagalan hidup akan menimbulkan luka hati. Bila tidak diobati maka akan bernanah dan membusuk.

Namun demikian, Tuhan menghendaki kita untuk berhenti pada penyesalan diri semata. Hidup harus tetap berlanjut. Life must go on. Ada masa depan. Masih ada harapan yang lebih baik. Itulah yang harus kita cari. Bila kita terpuruk pada kehidupan masa lalu –kegagalan itu- maka kehidupan kita ini akan sia-sia saja tanpa menghasilkan buah. Masa lalu hanya akan bermakna bila kita memandang Tuhan turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan pada kita. Allah turut campur tangan. Tuhan menyertai kita senantiasa, Dia selalu menjaga kita. Dia setia pada janji-Nya. Hidup kita sebagai orang yang percaya memiliki tujuan yang pasti dan Tuhan Allah menentukan itu bagi kita. Sekalipun oleh kegagalan kita, seakan-akan menggagalkan rancangan Tuhan atas hidup kita, tapi Tuhan takkan menyerah untuk membentuk kita. Dia selalu mencari sesuatu dalam diri kita demi kemuliaan-Nya. Dia ingin kita mengakui kelemahan kita dan menyadari Dia sanggup memakai kita dalam kelemahan kita oleh kuat kuasa Roh Kudus.

Kegagalan Simon Petrus di malam penyangkalannya itu bisa saja terjadi pada diri kita. Mungkin sebelumnya kita sedang giat-giatnya melayani Tuhan, aktif dalam kehidupan bergereja dan tak putus-putusnya bersaksi demi nama-Nya tahu-tahu kita ‘terjebak’ pada suatu kondisi yang menuntut kita memilih apakah kita tetap setia pada janji pengakuan iman kita atau malah menyangkalinya. Bisa jadi kita gagal. Kegagalan itu terjadi tatkala kita gagal hidup menurut kehendak-Nya dan kita jatuh dalam dosa. Dan dosa yang itu-itu lagi yang sering kita lakukan sehingga mendukakan Tuhan Yesus yang telah menebus kita. Jika kita menyesal, kita patut bersyukur artinya Roh Kudus telah bekerja di dalam kita untuk menginsyafkan kita akan dosa-dosa kita. Maka bersyukurlah kalau kita masih bisa menangis karena dosa-dosa kita, apabila tidak maka bahaya mengancam kita. Hati kita telah keras menjadi tegar tengkuk.

Bila hati kita telah keras maka cara Tuhan adalah dengan memperhadapkan kita pada kondisi yang akan mengingatkan kita pada dosa kita itu. Atau kita akan bertemu dengan orang yang juga sekeras kita dan begitu tegar tengkuk tak mau tunduk pada pengaturan Tuhan. Cara ini sangat menyakitkan bila diberlakukan pada kita. Tuhan membentuk kita dengan berurusan dengan mereka itu sampai batas waktu yang ditentukan-Nya sehingga hati kita dilembutkan oleh kasih-Nya dan mau mengakui keberdosaan kita itu. Mungkin kita kesal terhadap seseorang yang saat ini sedang berurusan dengan kita. Orang tersebut adalah orang yang ‘sulit’ dalam artian susah diatur dan tidak mau menuruti siapapun termasuk masukan dari kita. Coba, merenung sejenak dan tiliklah kedalaman hati kita. Apakah bisa jadi kita melihat diri kita juga seperti itu? Sulit untuk bertobat dan tidak mau rendah hati menerima orang lain dalam kelemahan mereka?

Jangan terlalu cepat menghakimi orang atas apa yang mereka perbuat terhadap kita. Mungkin apa yang mereka lakukan adalah cerminan dari diri kita sendiri dimana Allah mau menyadarkan diri kita untuk mengakuinya dan menyerahkan kelemahan kita di bawah salib Kristus. Pengakuan diri itu akan membawa kita pada pertobatan. Jangan terlena oleh kenyamanan hidup yang sering membius kita sehingga kita tak tahu bagaimana Allah menegur kesalahan kita. Kenyamanan semu itu telah membuat Simon Petrus menyangkali Tuhannya. Pada peristiwa penyangkalan di malam dingin itu, ia hanya beringsut dari posisi duduk ke berdiri tapi masih tetap berdiang di depan api arang. Dua kali masih menyangkal karena tetap berada di kerumunan orang-orang yang berdiang juga. Masih nyaman. Namun untuk ketiga kalinya, dia tak bisa lagi menolak untuk menyesali perbuatannya itu karena ayam telah berkokok dan sesuai dengan apa yang dinubuatkan oleh Tuhannya. Akhirnya dia menangis.

Kenyamanan hidup seringkali membuat kita lupa akan Tuhan kita. Seperti ketika kita banyak uang bisa jadi kita lupakan Tuhan. Mungkin kita akan berpikir dengan uang kita bisa mengatur segala yang kita inginkan dan raih. Bahkan mengatur keinginan orang sesuai dengan keinginan kita. Sedangkan kita diminta Tuhan untuk saling melayani bukan memanfaatkan atau mengendalikan mereka. Dengan uang, orang bisa membelokkan perkara supaya sesuai keinginannya. Rasa keadilan bisa hilang kalau uang menjadi segala-galanya. Gambaran berulangnya penyangkalan Tuhan sampai berulang kali bisa kita lihat orang-orang yang sedang kecanduan. Orang yang kecanduan sesuatu menganggap bila kenikmatan akan sesuatu yang terus-menerus dirasakan menumpulkan perasaan untuk bertobat dari dosa-dosanya itu. Karena merasa nyaman akan apa yang telah dilakukannya itu. Selama keadaan masih terkendali maka orang itu enggan untuk berbalik ke jalan benar. Dia akan lakukan lagi dan lagi.

Dia pikir dengan menikmati kecanduannya itu, dia bisa terlepas dari rasa sakit akan penderitaan hidup ini. Dia bisa lupakan sejenak. Bila sakit itu datang, maka ia akan lakukan penyangkalan lagi dengan berlari pada kecanduannya. Padahal sebagai orang Kristen, kita bukan saja dipanggil percaya kepada-Nya, tapi juga ikut menderita bersama-Nya. Rasul Petrus setelah diubahkan oleh Tuhan Yesus menulis surat pada jemaat Tuhan supaya mereka mau menderita karena memang itu adalah panggilan kita. Jangan sampai kita menyangkali-Nya dan jatuh pada hawa nafsu duniawi.

Contoh lain tokoh Alkitab yang dibentuk Tuhan seperti terapi arang yang terjadi pada Simon Petrus adalah Yakub. Yakub adalah seorang penipu seperti namanya. Bahkan demi mendapatkan berkat dari bapanya, ia menipu dengan menyerupakan dirinya dengan Esau, abangnya itu. Setelah itu, Allah membawa dia pada kenyataan dimana dia harus berhadapan dengan Laban, pamannya, yang menipunya berulang-ulang. Pengalaman hidup Yakub di perantauan itu, menyadarkan dirinya bahwa dia harus berhadapan dengan dirinya sendiri. Apa yang menurutnya sebagai kekuatannya yaitu kemampuannya melakukan strategi dan taktik untuk mencapai sesuatu ternyata dipatahkan oleh keadaan yang ‘memaksa’ dirinya untuk mengakui pengaturan dan kasih karunia Tuhan semata dalam mendapatkan berkat. Peristiwa Pniel, dimana dia harus bergumul dengan Allah di tepi sungai Yabok, membuat dia sadar siapa dirinya di hadapan Allah. Pangkal pahanya telah dijamah Allah sampai terpelecok membuat dia berjalan tak tegak lagi dan harus ditopang oleh tongkat. Hal itu menyadarkan sumber kekuatannya bukan dari dirinya sendiri tapi dari Allah yang menjamahnya.

Sungguh peristiwa Pniel itu sebanding dengan peristiwa pemulihan yang terjadi pada Simon Petrus. Simon Petrus mengakui ia masih mencintai Tuhannya namun bukan lagi seperti pengakuannya yang menggebu-gebu dengan kasih agape -tanpa syarat- tapi hanya dengan kasih filia –kasih persaudaraan-. Namun tokh demikian, Tuhan menerima pengakuan kehancuran hati dan kerendahan hatinya itu. Penerimaan itulah yang memulihkan Petrus. Dia bukan saja berani mengakui tapi juga merasakan pengampunan dari Tuhannya. Penolakan dirinya terhadap Tuhannya –dengan penyangkalan itu- dibalas oleh Tuhan Yesus yang mau mencari dan mendapatkan dia di tepi Danau Tiberias ketika dia sibuk menjala ikan namun gagal mendapatkan ikan satupun.

Tuhan tentunya bukan tanpa maksud membawa Petrus pada kenangan mukjijat penangkapan ikan dalam jumlah besar seperti pada pemanggilan dirinya sebagai penjala manusia. Tuhan membawa Simon Petrus untuk mengalami kembali penangkapan ikan yang luar biasa banyak. Dia berhadapan dengan Yesus yang berkuasa atas hidupnya. Pada waktu mukjijat pertama jalanya terkoyak, tetapi pada mukjijat kedua jalanya tak koyak. Jumlah ikan di mukjijat kedua 153 ekor. Ini memiliki arti tersendiri. Seratus lima puluh tiga adalah jumlah bilangan 1 sampai 17. Jumlah bilangan 1 dan 7 adalah 8 yang berarti angka anugerah. Delapan orang juga yang dicatat oleh Rasul Petrus kemudian dalam suratnya tentang orang-orang yang diselamtkan dalam bahtera Nuh. (1 Pet 3:20). Ya, ia diingatkan oleh Yesus bahwa ia telah diselamatkan. Itu sangat menghibur hatinya karena ia akhirnya diterima kembali dalam anugerahNya itu. Penerimaan yang membawanya pada pemulihan.

Itulah kenapa setelah mukjijat yang kedua dia berlari mendapatkan Yesus bukannya takut seperti mukjijat pertama. Waktu pertama alami mukjijat, ia disadarkan dirinya yang berdosa. Tapi pada yang kedua dia alami penerimaan kembali. Dia sambut Tuhannya itu dengan sukacita. Tidak takut lagi. Dengan keberanian menghampiri karena dia yakin akan penerimaan itu. Perkatan Yesus :”Jangan takut, mulai sekarang, engkau akan menjala manusia” (Luk 5:10b) menguatkan dia kembali. Memang dia kembali ke Galilea seperti yang diperintahkan Tuhannya lewat malaikat-Nya. Namun dia bersama rasul yang lain tidak tahu apa yang harus mereka lakukan di sana. Oleh karena itu, mereka kembali menjadi nelayan, menangkap ikan. Semalaman, mereka tak mendapatkan tangkapan satupun. Sama seperti dulu ketika Tuhan memanggil mereka pertama kali.

Gambaran ini seperti kita hadapi dalam masa-masa diam. Dimana Tuhan telah panggil kita untuk keluar dari kehidupan lama kita untuk melangkah ke kehidupan baru, tetapi kita tak tahu apa yang kita lakukan. Sehingga seringkali kita melakukan kembali aktifitas yang dulu pernah kita tinggalkan saat mengikut Kristus. Kita gamang. Dia telah panggil kita tapi kita belum yakin dan teguh akan panggilan itu. Masih samar-samar. Seperti rasanya sakit bersalin. Tapi Tuhan maha tahu. Itu adalah jaminan kita akan keselamatan yang sempurna yang sedang dikerjakan oleh Tuhan kita dalam diri kita. Dia tahu betul bagaimana kita bergumul dengan kegagalan atau dosa yang itu-itu lagi. Sebelum Petrus menyangkal-Nya, Tuhan Yesus tahu dan mengingatkan bahwa ia akan menyangkal-Nya. Namun demikian, proses pemulihan Petrus terjadi juga karena nubuatan akan masa depan Petrus sendiri dan bagaimana Petrus akan mati kemudian yang malah memuliakan Tuhannya serta tak lagi menyangkal atau memalukan-Nya.

Terlebih lagi, Yesus mengajak Petrus untuk mengikut Dia seperti panggilan mula-mula. Tapi dengan cara yang Yesus lakukan yaitu mau menderita demi kebenaran ( Mat 16:21-28). Jalan hidup setiap orang beda, tidak ada yang sama persis. Jalan hidup Petrus beda dengan Yohanes. Oleh karena itu, kita harus bisa mempertanggunajawabkan sendiri pengakuan iman kita. Bukan lagi berdasar dukungan orang lain. Malah di saat tiada dukungan, di saat kondisi tidak memungkinkan atau tidak baik waktunya, kita harus tetap siap sedia mempertanggungjawabkan iman kita. Kita tahu, menurut trdisi gereja, Petrus mati disalibkan terbalik di Roma namun demikian Yohanes -yang mencatat peristiwa itu sebagai penggenapan nubuatan terhadap Petrus- akan tetap hidup sampai Tuhan datang mewahyukan firman-Nya seperti yang tertulis dalam kitab Wahyu. Ya, tidak ada satupun firman-Nya yang gugur. Semuanya tergenapi. Sebab semua terjadi menurut perkataan Tuhan yang berkuasa.

Itu adalah penghiburan kita. Dia tahu jalan hidup kita. Bila kita telah berada sejauh ini bukan berarti Allah gagal membentuk kita. Ada waktu Tuhan dimana proses itu berlangsung terus-menerus supaya janji-Nya atas kita tergenapi. Allah menghendaki setiap orang yang percaya tidak akan binasa. Allah menjaga kita. Tapi berapa lama lagi kita akan mendukakan hati Tuhan yang mengasihi kita? Berapa lama lagi kita menentang pengaturan-Nya dengan cara hidup hidup yang sia-sia? Ada rencana Tuhan buat kita. Kita harus jadi berkat. Proses terapi arang itu berguna untuk mengantarkan kita ke arah sana.

Masih ada harapan. Jadi, jangan bersedih atau berkecil hati bila ternyata Allah membawa kita pada proses terapi arang itu. Sekali lagi memang itu memang menyakitkan tapi pada akhirnya akan memulihkan. Awalnya membawa dukacita tapi tokh akhirnya sukacita yang jadi buahnya. Ada peneguhan janji Tuhan di situ. Ada pengalaman mukjijat Tuhan. Tiada yang lebih indah daripada kita memandang salib Kristus dan percaya pada Dia yang telah bangkit untuk memberi hidup yang penuh pengharapan. Amien.

(Septa Widodo Munadi ; Di salah satu kontrakan di Perumahan Balitro – Bogor, 2 September 2008 – ditulis-ulang & diedit di Tegal, 4 Januari 2011)
Tulisan sebelumnya :
http://whitedodo.blogspot.com/2010/07/terapi-arang-kutemukan-kembali-cintaku.html

Ads Inside Post