Welcome to Widodo's Blog

Membaca untuk mengambil hikmat
Merenung agar bisa lebih bijak
Memahami supaya tak salah menerima

Laman Utama

Jumat, 30 Maret 2012

Perjumpaan dengan Tuhan yang Membuat Pemulihan Diri


Lagu pujian :  
KJ 18:1,3
KJ 26:1 & 2-3

Bahan Renungan : Yohanes 21:1-14 & 18:15-18

Untuk renungan di pagi ini, saya kasih judul “Perjumpaan dengan Tuhan yang membuat pemulihan diri

Bapak, ibu dan saudara yang terkasih,

Apa jadinya apabila kita hidup terbelenggu oleh rasa bersalah?
Rasa bersalah itu melumpuhkan, membuat orang tidak bergairah dalam hidupnya. Tidak bersemangat. Meskipun kita tahu apa yang baik, apa yang benar, dan apa yang berguna namun bila rasa bersalah telah membelenggu diri kita maka akan membuat kita enggan melakukan sesuatu yang baik. Yang terpikir adalah apa gunanya berbuat baik tokh aku sudah dianggap salah oleh mereka?? Rasa bersalah juga membuat orang menjadi takut atau trauma. Takut terulang kembali kesalahan itu.  Tapi malahan ketakutan itu mendorong kita untuk menjatuhkan diri dengan melakukan kesalahan yang sama dan berulang-ulang.

Demikian pula, hal itu terjadi pada rasul Petrus setelah ia menyangkali Tuhannya sebanyak 3 kali. Meskipun ia tahu Tuhan Yesus telah bangkit pada hari ketiga dan menampakkan diri pada Maria Magdalena dan juga dia bersama-sama murid-murid yang lain namun hal itu belum cukup menyakinkan dia untuk melakukan hal yang semestinya ia lakukan dalam menanggapi panggilan hidupnya yaitu untuk memberitakan Injil Tuhan. Dia butuh pemulihan diri.

Lihat apa yang dilakukan Petrus bersama dengan murid-murid yang lain?
Mereka malahan kembali pada pekerjaan mereka sebagai nelayan yaitu menangkap ikan lagi. Sedangkan kalau kita perhatikan panggilan Petrus adalah menjadi penjala manusia (Lukas 5:1-11) yaitu untuk membawa sebanyak mungkin orang untuk percaya kepada Yesus sebagai Tuhan. Namun ia malah melakukan pekerjaan yang sudah ia tinggalkan itu. Kembali ke masa lalu. Melupakan masa depan yang seharusnya ia songsong.
Mengapa itu bisa terjadi?
Saya rasa karena ia belum terbebas dari rasa bersalah karena menyangkali Tuhannya.  Masih terbelenggu. Belum bebas. Ia tak mungkin menguatkan murid yang lain untuk melakukan sesuatu yang menjadi panggilan mereka karena ia sendiri masih merasa gagal. Apalagi peristiwa penyangkalannya itu tentu saja murid-murid yang lain mengetahuinya entah mendapatkan cerita dari Petrus sendiri atau mendengar kesaksian dari orang lain. Dan keempat kitab Injil mencatatnya dengan jujur tanpa ditutup-tutupi.
Oleh karena itu, Tuhan Yesus sendirilah yang harus memulihkannya, disaksikan oleh murid-murid yang lain.

Bagaimana Tuhan Yesus memulihkan Petrus?
Tuhan Yesus datang menjumpai Petrus yang kepayahan setelah semalaman tidak mendapatkan tangkapan ikan di danau Tiberias. Dia melakukan mukjijat kembali yang mirip dengan mukjijat pertama kali Tuhan Yesus memanggil Petrus. Tangkapan Petrus sangat banyak. Pada tangkapan kedua ini, tercatat ada 153 ekor ikan. Dan ternyata 153 adalah jumlah deret 1,2,3 sampai 17.
Seakan Tuhan mau kembali menegaskan bahwa Tuhan sendiri yang memelihara hidupnya dan akan menambahkan berkat pada dirinya bila ia mau taat kepada-Nya.

Pada mukjijat pertama, Petrus meminta Tuhan Yesus menjauh darinya karena merasa dirinya tak layak karena menyadari dirinya yang berdosa (Lukas 5:8), namun pada mukjijat kedua ini ia malah menyongsong Tuhannya seakan rasa takut dalam dirinya karena rasa bersalah itu telah sirna. Ternyata Tuhan mau peduli pada dirinya. Hal pertama yang ia tahu, Tuhan mau mencukupi kebutuhannya bahkan di luar dugaan, ikan-ikan besar yang diperolehnya di waktu pagi hari, waktu yang tidak biasa untuk menangkap ikan.

Di tepi pantai, Tuhan Yesus telah menyiapkan api arang dengan ikan dan roti di atasnya. Kembali Tuhan mengajak Petrus pada kenangan masa lalunya. Pertama adalah api arang.  Petrus menyangkali Tuhannya sebanyak 3 kali saat ia berdiang di dekat api arang bersama hamba-hamba Imam Besar, Kayafas di malam menjelang penyaliban Tuhan Yesus (Yohanes 18:12-27). Saat itu, dia gagal mempertahankan imannya di tengah kerumunan orang.

Kedua, ikan dan roti. Tentulah Petrus belum lupa bagaimana pengalaman yang luar biasa tatkala Tuhan Yesus memberikan makan 5000 dan 4000 orang yang kelaparan setelah berhari-hari mengikuti-Nya hanya dengan sedikit ikan dan roti malah sisa beberapa keranjang. Pengalaman iman itu tentu membekas dalam diri Petrus yang ikut membagikan roti dan ikan saat itu.
Api arang menunjuk pada kegagalan iman. Ikan dan roti menunjuk pada pengalaman iman. Kedua hal tersebut, disatukan pada satu kesempatan.
Mungkin, orang memandang biasa. Tapi dalam diri Petrus yang pernah melewati masa-masa itu dengan menyaksikan kembali sesuatu yang mengingatkan dia akan masa lalunya, tentu memberikan makna tersendiri baginya. Lukanya terkuak. Ia harus menghadapi trauma melihat api arang karena mengingatkan dia akan kegagalannya. Ini pilihan baginya apakah mau menghadapi trauma masa lalu atau kembali menyangkali kenyataan pahit itu ada?

Pada bacaan selanjutnya, kalau Bapak, Ibu dan Saudara perhatikan saat masih di tepi pantai itu, saat dimana api arang yang dibuat Tuhan Yesus masih ada, Tuhan menantang Petrus dengan 3 pertanyaan yang sama tentang kasihnya pada Tuhannya. Petrus menjawab kalau dia mengasihi Tuhannya. Dalam teks bahasa Yunani kata kasih yang dipakainya adalah filia (kasih persaudaraan) bukan agape (kasih tanpa syarat). Namun demikian, Tuhan Yesus mau menerima pernyataannya itu apa adanya malah memberikan tugas penggembalaan umat-Nya. Satu tanggung jawab yang besar yang diberikan pada seseorang yang pernah gagal mempertahankan imannya.

Pemulihan terjadi, saat Tuhan kembali mempercayakan pada kita tanggung jawab yang seharusnya kita emban. Tuhan kembali membawa kita pada jalan yang seharusnya kita tempuh.
Bila kita masih terbelenggu oleh rasa bersalah, kita tidak tahu apa yang akan kita lakukan selanjutnya di masa depan. Motivasi untuk menyongsong masa depan tidak akan kuat apabila luka-luka batin di masa lalu belum juga disembuhkan.

Ini berarti apa?
Seringkali kita bertindak sebagai reaksi atas apa yang kita alami atau yang menimpa kita. Seperti pengalaman masa kecil yang menyakitkan tatkala kita pernah merasakan penolakan atau pelecehan yang mungkin kita terima dari orang-orang terdekat yang bisa jadi malah oleh orang tua kita sendiri. Apabila sakit hati itu belum juga dipulihkan dan kita bawa sampai dewasa, itu akan menjadi belenggu yang menjadikan satu alasan kita melakukan perlakuan yang sama seperti itu yaitu: merendahkan dan melecehkan orang yang kita anggap lebih rendah daripada kita. Balas dendam. Perlakuan kita itu membuat kita merasa bersalah.

Cobalah perhatikan orang-orang penting di sekitar kita yang mempengaruhi kehidupan kita. Entah itu sahabat, teman kerja, tetangga, kenalan atau mungkin saudara seiman. Ada di antara mereka yang memiliki sifat / karakter yang menjengkelkan seperti suka mencari-cari kesalahan orang, merendahkan orang lain, munafik, penjilat, merasa diri benar, susah diatur, bebal, dll. Tapi berhentilah sejenak untuk menghakimi orang tersebut. Mari kita coba bercermin. Memandang diri sendiri secara jujur apa adanya. Apakah aku dulu juga seperti itu? Atau malah masih kulakukan hal-hal yang menjengkelkan itu? Kenapa aku kok bertemu dengan orang-orang menjengkelkan itu dan tidak berlalu saja dari kehidupanku?
Kita harus berani mengakui adanya luka batin itu. Dengan jujur apa adanya tanpa menyangkalinya. Menerima Kristus berarti juga menerima kenyataan hidup. Kita harus menghadapinya karena Tuhan akan memulihkan kita mungkin dengan cara yang seperti dialami oleh Petrus itu, bahwa kita harus menghadapi luka batin masa lalu dengan merasakan kembali kenangan itu pada saat ini. Apabila luka itu disebabkan kesalahan kita itu berarti kita diajak untuk mau mengampuni diri sendiri.

Orang tak akan sanggup mengampuni orang lain yang bersalah padanya apabila ia tidak mau mengampuni diri sendiri. Menerima diri sendiri apa adanya. Mau berdamai dengan diri sendiri. Karena memang Tuhan yang kita kenal adalah Tuhan yang mau menerima kita apa adanya. Bagaimanapun kita dan siapakah kita di masa lalu.

Kalau ternyata, kita dibawa Tuhan pada kenangan masa lalu, Tuhan pasti akan mengaruniakan kekuatan pada kita untuk menanggungnya dalam kasih karunia-Nya. Dulu mungkin ketika kenangan kegagalan kita begitu menyakitkan kita rasakan tapi bila tenyata kita menyadari bahwa Tuhan yang mengijinkan itu kita alami kembali saat ini, maka coba kita sadari ternyata Tuhan pun telah memampukan kita untuk melewatinya tanpa bereaksi seperti dulu, marah, balas dendam, jengkel atau iri. Tapi dengan kasih karunia-Nya kita akan dimampukan untuk mengampuni dan menerima orang lain apa adanya.

Seperti juga Yakub yang pernah menipu bapaknya untuk mendapatkan berkat. Yakub yang licik dan penipu itu pun harus berhadapan dengan Laban, pamannya yang berulang kali menipunya. Kemudian dia harus berurusan langsung dengan Tuhan yang menyatakan diri dalam laki-laki yang berkelahi dengannya di tepi sungai Yabok. Ia terpelecok karena Tuhan harus memukul pangkal pahanya sumber kekuatan dirinya. Sehingga dia harus ditopang oleh tongkatnya untuk dapat berjalan. Dia harus belajar rendah hati dn tidak mengandalkan kekuatan diri sendiri bahkan untuk mendapatkan berkat Tuhan.

Namun demikian, segala strategi dan kelicikannya tak berhasil untuk mengatasi ketakutannya pada kakaknya, Esau, yang telah ditipunya. Ketakutan akan kesalahan masa lalunya itu harus dihadapinya ketika kakaknya itu akan bertemu dengannya. Strategi dan kelicikannya tak ada gunanya untuk mendapatkan berkat tapi hanya oleh kasih karunia Tuhan akhirnya hubungan Yakub dan Esau pun dipulihkan tanpa ada perselisihan lagi di antara mereka.

Yach, kita harus berani menghadapi masa lalu yang menghantui atau kalau tidak itu akan terus menghantui kita dan membuat selubung yang menutup mata kita untuk melihat kemuliaan Tuhan dalam hidup kita. Seperti Petrus yang telah dipulihkan oleh Tuhan Yesus, marilah kita mau menyerahkan luka-luka batin kita pada Tuhan yang mau dan sanggup menyembuhkan kita seperti tertulis dalam 1 Petrus 2:21-25 (dibacakan).

Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya.
Ia tidak berbuat dosa, dan tipu tidak ada dalam mulut-Nya.
Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil.
Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh.
Sebab dahulu kamu sesat seperti domba, tetapi sekarang kamu telah kembali kepada gembala dan pemelihara jiwamu.

Maukah kita dipulihkan? Maukah kita bersabar atas diri kita sampai Tuhan sempurna memulihkan kita? Biarlah itu menjadi perenungan kita.
Amin.


Disampaikan pada Kebaktian Doa Pagi di GKI Tegal - 20 Maret 2012
Septa Widodo Munadi

Allah hadir bagi kita
KJ 18:

Allah hadir bagi kita dan hendak memb’ri berkat,
melimpahkan kuasa RohNya bagai hujan yang lebat.

Ref.
Dengan Roh Kudus ya Tuhan, umatMu berkatilah!
Baharui hati kami; o, curahkan kurnia.

Allah hadir, sungguh hadir di jemaatNya yang kudus;
biar kasih kurniaNya menyegarkan kita t’rus.

Allah hadir! O, percaya dan berdoa padaNya
agar kita dikobarkan oleh nyala kasihNya.

Penebus, dengarkan kami yang padaMu berseru:
buka tingkap anug’rahMu, b’rikanlah berkat penuh!


mampirlah dengar doaku (KJ 26)

Mampirlah dengar doaku, Yesus Penebus.
Orang lain Kauhampiri, jangan jalan t’rus.

Ref.
Yesus, Tuhan, dengar doaku;
Orang lain Kauhampiri,
jangan jalan t’rus.

Di hadapan takhta rahmat aku menyembah,
tunduk dalam penyesalan. Tuhan tolonglah!

Ini saja andalanku: jasa kurbanMu.
Hatiku yang hancur luluh buatlah sembuh

Kaulah Sumber penghiburan, Raja hidupku.
Baik di bumi baik di sorga, siapa bandingMu?


Berdamai dengan Kelemahan

Bacaan: 2 Kor 12 : 1 – 10
           
            Kalau kita diminta untuk bersaksi, hal apakah yang biasanya kita saksikan pada orang lain? Apakah tentang sembuh dari sakit penyakit setelah sekian lama? Atau bagaimana terbebas dari kesulitan permasalahan hidup? Mungkin bagaimana menjadi kaya setelah sekian lama terjerat dalam kemiskinan? Atau tentang doa-doa kita yang terjawab? Hal-hal itu menjadi kerap kita sampaikan dan bahkan sering kita dengar dari kesaksian orang lain tentang kasih Tuhan padanya. Tapi pernahkah kita berbagi tentang doa-doa kita yang tidak terjawab atau pergumulan tentang suatu permasalahan yang tak kunjung selesai? Beranikah kita menyatakan hal itu pada orang lain? Menyatakan kekurangan, kelemahan, dan kegagalan yang kita alami? Beranikah kita jujur mengakui itu semua? 
            Tidak mudah bagi seseorang untuk bisa mengakui kelemahan dirinya pada orang lain apalagi orang tersebut tidak begitu dekat dengannya. Ada ketakutan (kalau-kalau kelemahan kita itu akan dipakainya untuk menjatuhkan / merendahkan kita pada orang banyak). Kita lebih mudah untuk nyaman dengan memakai topeng di depan orang lain. Topeng kelebihan dan prestasi kita. Kita bisa malu, kalau orang tahu sejatinya kelemahan kita. Apakah kita akan tetap tegak berdiri menatap orang yang tahu tentang kelemahan-kelemahan kita itu?
            Kalau dulu kita pernah begitu aktif dan melakukan banyak hal, bisa jadi sekarang kita jadi terbatas atau malah tidak bisa sama sekali melakukan aktifitas yang dulu sering kita lakukan. Itupun menjadi salah satu contoh kelemahan. Lalu apakah kita akan mengeluh dengan segala kelemahan kita itu? Atau kita malah bisa bersyukur? 
Mari, kita belajar dari Rasul Paulus. Kita tahu banyak tentang Rasul Paulus dari Kitab Kisah Para Rasul dan tulisan dari surat-suratnya yang dikirim untuk jemaat mula-mula. Dia memang bukan termasuk 12 rasul yang dipilih langsung oleh Yesus di awal pelayanan-Nya. Dia dipanggil Tuhan menjadi rasul setelah Yesus bangkit. Namun demikian, dia menjadi rasul yang luar biasa ditunjukkan melalui tanda, mukjijat dan kuasa yang dinyatakan di tengah-tengah jemaat. Perikop yang kita baca tadi adalah bagian dari pembelaan atas dirinya terhadap tuduhan orang-orang yang meragukan kerasulannya. Yaitu dengan cara menyaksikan penglihatan yang dia alami saat dia dibawa ke sorga. Kalau kita baca di pasal sebelumnya pembelaannya dinyatakan dengan cara bagaimana dia bekerja keras untuk memberitakan Injil meskipun begitu banyak tantangan.
            Tentu saja, kalau kita yang mengalami penglihatan itu pasti akan cepat-cepat menceritakan pada orang lain. Kita tak bisa menahan diri untuk menyatakan bahwa kita telah mengalami pengalaman yang luar biasa yang belum tentu orang lain alami. Tetapi anehnya, mari kita perhatikan kembali ayat 2. “Aku tahu tentang seorang Kristen; empat belas tahun yang lampau -- entah di dalam tubuh, aku tidak tahu, entah di luar tubuh, aku tidak tahu, Allah yang mengetahuinya -- orang itu tiba-tiba diangkat ke tingkat yang ketiga dari sorga.” Dia katakan penglihatan itu dia alami 14 tahun sebelumnya. Mengapa dia baru menyatakannya pada waktu menulis surat kedua ke jemaat Korintus dan mendiamkan penglihatan itu sekian lama? Dia terpaksa. Karena untuk menyatakan pada jemaat Korintus kalau ia pun sebanding dengan rasul-rasul yang lain. Tapi bukan untuk pamer.
Satu hal yang menarik adalah setelah dia menerima penglihatan yang luar biasa itu, ia menerima duri dalam daging yaitu utusan Iblis untuk menggocoh dirinya. Ada yang berpendapat kalau duri dalam daging itu adalah sakit penyakit yang dideritanya. Coba Bapak, Ibu dan Saudara bayangkan kalau ada duri ada di dalam daging kita… pastilah sakit untuk bergerak. Otot digerak akan tertusuk duri itu. Gerak kita jadi terbatas. Satu setengah tahun lalu, waktu tulang bahu saya dipasang pen karena patah, saya harus berhati-hati di tengah-tengah desakan orang-orang di KA ekonomi jurusan Bogor-Jakarta. Saya tutupi bahu saya dengan tangan kiri supaya tidak tertekan orang lain. Gerak saya jadi terbatas.
Tujuan Allah mengizinkan duri dalam daging itu ditanggung Rasul Paulus supaya ia tetap rendah hati dan tidak menjadi sombong meskipun telah mengalami penglihatan yang luar biasa. Hal tersebut menjadi kasih karunia dari Allah karena meskipun melalui kelemahan, Allah tetap bisa bekerja dalam diri kita. Allah memakai kelemahan kita untuk menyatakan kasih karunia-Nya. Bila sakit penyakit yang mungkin mendera kita, saat itu kita diajak untuk bisa tetap bersukacita di tengah penderitaan dan hidup dalam pengharapan. Dan bukannya malah putus asa. Jika demikian, orang yang menyaksikan hidup kita saat itu akan melihat bagaimana Allah memampukan kita menanggung sakit penyakit itu sekalipun kita mungkin tidak disembuhkan. Itu akan mendorong orang memuji kebesaran Allah. Bagaimana bisa?
            Saya kagum pada almarhum Pdt. Eka Darmaputera – Pendeta GKI Bekasi Timur. Di saat dia menderita penyakit hati yang kronis dia masih aktif melayani dan menulis. Tulisan-tulisannya tentang hidup dalam penderitaan ditulisnya di saat dia sudah 20 tahun menderita penyakit hati. Dia menulis buku itu bukan secara teori semata tapi mengalami sendiri bagaimana bergumul menghadapi sakit penyakit. Tulisannya menginspirasi saya untuk tetap berjuang meskipun pada saat itu saya mengalami banyak sekali kegagalan. Berdamai dengan kegagalan tidaklah mudah. Bagi kita lebih mudah untuk menerima diri sendiri apabila kita sedang berhasil atau berprestasi. Tapi apakah kita akan siap kalau kita gagal? Apakah kita tetap tegar menjalani kehidupan ini? Itu masalahnya.
            Merasa cukup itu penting. Itu adalah nilai yang kita pahami dari pergumulan Rasul Paulus menghadapi duri dalam daging yaitu kelemahannya. Tuhan katakan : ”Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (1 Kor 12:9a). Hal itu dikatakan Tuhan setelah Rasul Paulus berseru sebanyak 3 kali. Doanya tak terjawab / dikabulkan. Tapi dia malah bersukacita karena dia mengalami sendiri kuasa Kristus menaunginya. Dia masih bisa melayani Tuhan meskipun dalam kelemahannya itu. Kemegahannya bukan karena kekuatannya sendiri tapi kekuatan yang dikaruniakan Allah padanya. Kasih karunia yang cukup untuk menanggung penderitaan karena seperti Kristus pun telah menderita bagi kita. 
Kristus mau menanggung rasa sakit akibat dosa-dosa kita. …Oleh bilur-bilur-Nya, kamu telah sembuh (1 Pet 2 : 24). Ayat ini kita sering dengar tapi apa maknanya? Dia didera dan dicambuk tapi tidak membalas apa yang menimpaNya. Kita pulih apabila apa yang dilakukan orang lain terhadap kita tidak lagi mengendalikan reaksi kita untuk bertindak. Kita bebas merdeka menentukan sikap. Kita bisa menentukan untuk hidup bagi kebenaran tidak lagi tergantung pada apa yang dilakukan orang terhadap kita. Kasihlah yang akan terwujud dalam tindakan kita. Kasih karunia Allah menjadi sempurna nyata pada kita yang tak lagi menyerah kalah pada hal-hal yang dulu pernah membuat kita menyerah kalah. Mungkin sekarang kita bertemu dengan seseorang atau berada dalam keadaan yang mengingatkan kita akan luka atau trauma masa lalu. Tapi kalau kita telah dimerdekakan oleh Kristus itu berarti semua itu tak lagi menghantui kita. Bila kita didera penderitaan atau ditekan oleh rasa sakit biasanya kita akan membalas itu dengan melakukan perlakuan serupa itu pada orang lain. Contohnya, bila kita dilecehkan kecenderungan kita melakukan pelecehan juga terhadap orang lain yang kita anggap lebih rendah atau lemah dari kita. Balas dendam. 
Namun, kecukupan dalam kasih karunia Kristus memampukan kita menghadapi penderitaan atau kelemahan. Bukan menghindar atau menyangkali penderitaan tapi mengakui sebagai bagian yang pasti kita terima sebagai orang Kristen, pengikut Kristus. Penyangkalan atas penderitaan yang kita alami membawa kita pada kecenderungan hanya ingin menikmati kesenangan duniawi semata dan enggan untuk menderita. Contohnya orang yang kecanduan. Mereka yang kecanduan narkoba memakai obat-obatan itu untuk menekan rasa sakit atas permasalahan yang sedang mereka hadapi. Dengan minum / memakai, mereka pikir bisa sesaat lamanya tidak memikirkan masalah mereka. Tapi kenyataannya masalah tetap ada dan tidak terselesaikan. Masalah harus dihadapi dan dicari jalan keluarnya. Seperti Kristus tetap tegar meski salib dan penderitaan harus ditanggungNya.
Apa yang ditekankan oleh Rasul Paulus dalam perikop itu adalah bagaimana ia bermegah di dalam kelemahannya bukan pada penglihatan yang luar biasa itu. Coba Bapak, Ibu dan Saudara perhatikan kalau orang memberikan kesaksian pada kebaktian-kebaktian besar cenderung mengungkapkan pengalaman rohani entah itu pernah diajak Yesus ke sorga atau telah sembuh dari sakit penyakit yang kronis. Berulangkali hal-hal itu melulu yang ditekankan kemana pun mereka memberi kesaksian. Kalau itu yang terus-menerus mereka gembar-gemborkan maka Kristus yang disalibkan seakan kabur dari berita kesaksiannya. Diri sendiri yang malahan akan menonjol yang hebat telah mengalami hal-hal lebih daripada orang lain.
Mari belajar dari Rasul Paulus yang telah belajar untuk rendah hati. Kemegahannya bukan pada apa yang luar biasa yang ia alami tapi malahan di saat dia sangat lemah. Tidak mampu. Mengakui ketidakmampuan itulah kunci untuk merasakan kasih karunia Allah. Kita orang berdosa butuh penebusan dosa. Dan Allah dalam kasih karunia-Nya menebus kita dari dosa kita oleh kematian Anak-Nya ganti kita.  Tanpa pengakuan kalau kita orang berdosa tentu saja kita takkan merasakan kasih karunia itu. 
Apabila kita berada dalam kelemahan seringkali kita menggerutu. Kita tidak mau dicap lemah. Kita gampang memberontak. Ingin segera lepas dari kelemahan itu. Tapi mari kita belajar berdamai dengan kelemahan kita. Belajar menerima. Mengakui kita takkan berdaya tanpa Tuhan. Dari situ kita akan makin dekat dengan Tuhan. Makin berharap. Tidak lagi mengeluh ataupun membandingkan dengan yang lain yang tidak mengalami kelemahan kita itu. 
Kita cenderung mudah untuk membandingkan dengan orang lain yang kelihatan baik-baik saja. Bahkan terkadang kita marah pada Tuhan apabila orang yang nyata-nyata melakukan kejahatan seakan-akan baik-baik saja tapi kok malah kita yang berusaha untuk dekat dengan Tuhan didera kelemahan sakit penyakit atau kegagalan. Rasanya kita ingin berhenti bertekun bila hal itu terus kita alami. Mengapa bukan mereka?
Tapi lihat bagaimana Yesus yang bergumul di taman Getsemani di dalam doanya. Dia tahu sebentar lagi akan mengalami penderitaan yang sangat berat dan harus mati disalibkan. Bahkan Dia meminta pada BapaNya kalau mungkin cawan penderitaan itu lalu daripadaNya. Tapi di akhir pergumulanNya Dia mau berdamai dengan penderitaan yang akan Dia alami. “…Janganlah seperti yang Kukehendaki,  melainkan seperti yang Engkau kehendaki.”

Sebagai penutup renungan ini saya akan bacakan satu puisi yang bisa menginspirasi kita dalam menghadapi kelemahan :
Memperoleh Keuntungan melalui Kerugian 
Aku mohon Allah memberiku kekuatan agar dapat berprestasi,               
aku dijadikan lemah supaya belajar taat dengan rendah hati                    
Aku mohon kesehatan agar dapat melakukan hal-hal yang lebih besar,   
aku diberi penyakit supaya melakukan hal-hal yang lebih baik                 
Aku mohon kekayaan agar aku bahagia,                                                           
aku diberi kemiskinan supaya menjadi bijaksana                                        
Aku mohon kuasa agar dipuji oleh manusia,                                               
aku diberi kelemahan supaya menyadari bahwa aku perlu Allah               
Aku mohon segala hal agar dapat menikmati hidup,                                  
aku diberi hidup supaya dapat menikmati segala hal                                 
Aku tak menerima apa yang kuminta                                                           
tetapi mendapat segala sesuatu yang kuharapkan                                                  
Sekalipun keadaan diriku dan doa-doaku                                                                
yang diucapkan itu tak dikabulkan,                                                                  
Tapi akulah yang paling diberkati diantara segala manusia

Nyanyian : NKB 163 : 1 - 3                                           

                    NKB 170 : 1 & 3

 Tak Mudah Jalanku (NKB 163)

Tak mudah jalanku yang menuju ke sorga
sebab banyaklah duri, jerat;
Tak mudah jalanku tapi Yesus yang pimpin,
sehingga akupun tak sesat.

Reff:    Sungguh tak mudah jalanku,
sungguh tak mudah jalanku.
Tetapi Yesus, Tuhan dekatku berjalan,
meringankan beban dunia.
Tak mudah jalanku, banyaklah pencobaan,
bahaya di segala tempat.
Tetapi Tuhanlah yang melindungi daku,
tak lagi ‘ku merasa berat.

Meskipun ‘ku penat dan kakiku terluka,
tetap harapanku padaNya.
Suatu hari k’lak ‘ku mengaso di sana,
di rumah Bapa yang mulia.

JALAN HIDUP TAK SELALU ( NKB 170)


1.      Jalan hidup tak selalu tanpa kabut yang pekat,
namun kasih Tuhan nyata pada waktu yang tepat.
Mungkin langit tak terlihat oleh awan yang tebal,
di atasnyalah membusur p’langi kasih yang kekal.

Reff.
Habis hujan tampak p’langi
bagai janji yang teguh,
di balik duka menanti
p’langi kasih Tuhanmu.

2.      Jika badai menyerangmu, awan turun menggelap,
carilah di atas awan p’langi kasih yang tetap.
Lihatlah warna-warninya, lambang cinta yang besar,
Tuhan sudah b’ri janjiNya, jangan lagi kau gentar.

3.      Jauhkan takut, putus asa, walau jalanmu gelap,
perteguh kepercayaan dan langkahmu pertegap.
“Tuhan itu ada kasih”, itulah penghiburmu,
di atas duka bercahaya p’langi kasih Tuhanmu.



Solidaritas



Bahan Renungan : Lukas 1:39-56

Masih ingatkah kita akan kasus Prita yang memiliki masalah dengan sebuah Rumah Sakit Internasional dan mendorong masyarakat mengumpulkan “Koin untuk Prita”? Ada solidaritas yang muncul dalam masyarakat untuk mendukung Prita dalam memperjuangkan permasalahan yang dia hadapi setelah ia mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit tersebut melalui surat elektronik / e-mail. Ada yang beranggapan bahwa solidaritas itu muncul -terlebih pada golongan kelas menengah- karena mereka berpikir andaikata mereka berada pada posisi Prita. Yang artinya adalah jangan sampai perlakuan yang Prita terima dialami oleh mereka.

Tapi ada pertanyaan yang menggelitik pada Tulisan Opini di Kompas beberapa waktu lalu, “Dukungan pada Prita begitu deras tapi kenapa saat orang-orang Papua yang saat ini bergejolak seakan disini –di Pulau Jawa-tidak ada yang menyuarakan kepentingan orang-orang Papua tersebut?” Apakah memang solidaritas itu muncul apabila ada rasa kepentingan kita yang ikut tersinggung oleh suatu peristiwa. Jadi apabila peristiwa tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan kita maka solidaritas pun takkan muncul dalam diri kita.

Satu lagi peristiwa yang mengenyakkan kita dalam minggu-minggu terakhir ini. Ada seorang mahasiswa Universitas Bung Karno – Jakarta bernama Sondang yang nekat membakar dirinya di depan Istana Negara yang diduga motifnya adalah bentuk frustasi masyarakat Indonesia yang tidak melihat perubahan berarti atas kasus-kasus yang tidak terselesaikan seperti pelanggaran HAM, kasus korupsi dll. Solidaritas mendorong orang melakukan aksi untuk orang lain yang berkepentingan sama. Meskipun motif dibalik solidaritas itu bisa bermacam-macam seperti yang ekstrim pada mahasiswa itu.

Dalam bacaan kita pagi ini, kita pun melihat bentuk solidaritas yang dilakukan oleh Maria terhadap Elisabet. Maria mengetahui kabar tentang Elisabet yang mengandung anak laki-laki pada hari tuanya dari malaikat Gabriel. Saat itu belum ada telpon atau email untuk bisa mengetahui keadaan orang di tempat lain. Dan untuk memastikan kebenaran berita itu, maka Maria beberapa waktu kemudian berangkat dan berjalan menuju pegunungan Yehuda dari Nasaret. Dalam cerita ini memang tidak disebutkan ada Yusuf yang mendampingi Maria. Mungkin bersama Yusuf mungkin juga tidak. Karena memang penulis Injil Lukas ingin menekankan dua sosok wanita yaitu Maria, bunda Tuhan Yesus dan Elisabet, bunda Yohanes Pembatis, perintis jalan bagi Yesus.

Perjalanan yang cukup jauh kurang lebih 100 km ditempuh oleh Maria ke tempat sanaknya itu. Satu bentuk solidaritas yang beresiko karena Maria pun dalam kondisi hamil muda saat itu. Namun, tetap saja ia melakukannya karena ada satu bentuk ikatan perasaan sebagai wanita yang sama-sama dikaruniai oleh Allah sebuah tugas ilahi bagi umat-Nya yaitu mengandung anak laki-laki yang nantinya akan berperan dalam keselamatan bagi umat manusia. Tugas ilahi sebagai ibu yang dikondisikan sulit waktu itu. Maria mengandung oleh Roh Kudus sebelum hidup sebagai suami isteri dengan Yusuf yang berarti dia masih perawan. Sedangkan Elisabet mengandung pada masa tuanya sehingga ia berkata:”…Inilah suatu perbuatan Tuhan bagiku; dan sekarang Ia berkenan menghapuskan aibku di depan orang.”

Tadi saya katakan tugas beresiko karena mereka berdua berpotensi untuk dicemooh oleh masyarakat sekelilingnya atas apa yang mereka alami. Satu hal yang menyatukan mereka berdua adalah iman bahwa apa yang mereka alami adalah karena Allah bekerja pada diri mereka. Maria mempercayai kabar dari malaikat Gabriel dan memposisikan dirinya sebagai hamba yang harus taat pada tuannya. Dan tuannya adalah Tuhan Allah yang mengaruniakan itu, seperti yang dia katakan:”…jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Demikian juga Elisabet yang menyambut Maria dengan perkataan:”Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana.”

Hal yang menarik dari pertemuan kedua wanita itu adalah perjumpaan iman antara keduanya. Iman mereka berpaut menjadi satu ikatan yang saling menguatkan satu dengan yang lain. Maria mau datang –meskipun jauh- untuk ikut merasakan sukacita Elisabet yang mengandung di masa tuanya seakan menegaskan akan perkataan malaikat Gabriel:”…sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil.” Kehadiran Maria berdampak pada Elisabet dengan melonjaknya anak yang di kandungannya dan ia pun penuh Roh Kudus sehingga menyampaikan kata-kata penguatan terhadap Maria. Dampaknya adalah Maria menaikkan pujian pada Allah (Magnificant) dalam satu pengharapan akan keselamatan yang dikerjakan Allah melalui mereka yang sederhana. Yach, mereka hanyalah orang-orang sederhana yang dipakai Tuhan untuk melakukan kehendak-Nya.

Kalau tadi saya menyebutkan seorang mahasiswa yang membakar diri sebagai bentuk frustasi bangsanya atas keadaan yang ada, Maria mengungkapkan pengharapan akan keselamatan dari Allah yang ditunjukkan pula pada keadilan sosial yang akan ditegakkan di tengah-tengah masyarakat
*      Orang sombong diturunkan dari kekuasaannya
*      Masyarakat dipenuhi kebutuhannya

Apabila kita berkumpul dengan orang-orang yang suka bergosip dan mencari-cari kesalahan orang lain maka pikiran kita tentunya akan dipenuhi perasaan curiga / negatif terhadap yang lain. Namun demikian, apabila teman-teman kita adalah orang-orang yang rindu untuk membangun dan menguatkan yang lain maka kita akan mudah menjadi pribadi yang mampu menghargai orang lain. Dalam Mazmur 1 dinyatakan bagaimana bedanya antara orang benar dengan orang fasik. Orang fasik takkan tahan dalam kumpulan orang benar seperti gelap takkan bertahan bila terang itu bersinar. Bahkan ada istilah siapakah kita bisa dilihat dari siapakah teman-teman kita. Kalau teman-teman kita itu orang yang suka menjilat maka kecenderungan kita hanya pada pemuasan kepentingan diri sendiri bukan pada penerapan kebenaran.

Kehadiran kita sangat bagi orang lain. Kehadiran menunjukkan solidaritas. Seperti orang yang rela mudik dari kota besar ke kampung halaman dengan resiko yang mungkin dihadapi dalam perjalanan. Tapi kehadiran ternyata bukan saja menguatkan bagi yang dikunjungi tapi juga yang mengunjungi. Kita menjadi tidak sendirian. Ada teman disana. Ada kerabat di sana. Kerabat yang mendukung dan mendoakan kita di perantauan.

Mendoakan saat mengunjungi. Saya jadi teringat tak sanggup menahan air mata saat saya mendoakan seorang cucu dari jemaat karena ia terbaring sakit di rumah. Dia masih muda dan sangat aktif dalam kegiatan sekolah maupun di gereja. Awalnya saya tak begitu dekat dengan ibu itu, tapi semenjak itu ada kedekatan . Setiap kali kami bertemu, dia selalu yang pertama mengulurkan tangan menjabat tangan saya. Tentu saja saya tidak akan berlalu begitu saja tapi berusaha bertanya tentang kabarnya.

Gereja kita bukanlah sekedar kumpulan orang-orang yang suka aksi sosial tapi persekutuan iman dalam Yesus Kristus. Apa yang kita lakukan terhadap orang lain adalah ungkapan iman kita kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan kita. Mari kita tunjukkan solidaritas dengan kehadiran kita. Tuhan memberkati. Amin


Tegal, Disampaikan pada Kebaktian Doa Pagi - 16 Desember 2011
Septa Widodo Munadi
Lagu pujian :  
NKB 21:1,2
NKB 143:1,2-3

‘Ku diberikan kidung baru
nkb 21

1.                   ‘Ku diberikan kidung baru
oleh Yesus Tuhanku:
irama lagu paling mulia,
kidung kasih yang merdu.

Ref.
Hatiku bersukacitalah,
Bersukacitalah, bersukacitalah
Hatiku bersukacitalah,
di dalam Yesus Tuhanku.

2.                 ‘Ku mengasihi Tuhan Yesus
yang tersalib bagiku;
segala dosaku dihapusNya,
hingga baru kidungku.

3.                 Kumuliakan kasih Yesus
dalam lagu yang merdu;
kelak malaikat dalam sorga
mengiringi kidungku.




JANJI YANG MANIS
NKB 143

Janji yang manis: “Kau tak Kulupakan”,
tak terombang ambing lagi jiwaku;
Walau lembah hidupku penuh awan,
nantikan cerahlah langit diatasku.

Ref.
“Kau tidakkan Aku lupakan, Aku memimpinmu,
Aku membimbingmu;Kau tidakkan Aku lupakan,
Aku penolongmu, yakinlah teguh”.

Yakin “kan janji: “Kau tak Kulupakan”,
dengan sukacita aku jalan t’rus;
Dunia  dan kawan tiada kuharapkan,
satu yang setia: Yesus, Penebus.

Dan bila pintu sorga dibukakan,
selesailah sudah susah dan lelah;
Kan kudengarlah suara mengatakan:
“Hamba yang setiawan, mari masuklah”.

Ads Inside Post