Jumat, 21 November 2014
Kelayakan untuk Melayani Tuhan
"Samuel belum mengenal Tuhan ; firman TUHAN belum pernah dinyatakan kepadanya." (1 Sam 3:10)
Terlibat pelayanan tapi belum tentu mengenal Tuhan dengan baik. Aneh ini. Tinggal di Bait Allah tapi tak mengenal Tuhan.
Tapi itu nyata terjadi pada kebanyakan orang Kristen. Itupun terjadi pada diriku. Sudah 4 tahun, Tapi bukannya aku malah jadi dekat dengan Tuhan malahan aku makin jauh dari Tuhan. Kerohanianku jadi kering. Spiritualitasku hambar. Nilai persekutuan dalam hidupku hanyalah sebagai ilusi.
Tak lagi kubisa mendengar suaraNya yang lembut menuntunku.
Tak mampu aku mendapatkan pencerahan hikmatNya yang menghiburku.
Entahlah, apakah karena aku berada pada posisi dimana aku melihat kenyataan yang tidak semestinya aku saksikan. Sesuatu yang ideal adalah hal yang hanya meluncur di atas mimbar tapi menjadi barang yang langka di tanah tempat firman itu berpijak. Jabatan dan status menjadi jauh lebih penting daripada karunia Tuhan itu sendiri. Uang telah membutakan banyak orang sehingga orang pun dinilai keberadaannya sesuai uang yang ada padanya. Memang uang adalah penukar suatu nilai. Tapi masalah terjadi apabila menilai orang dengan uang itu.
Yang beruang itulah yang dilayani lebih. Yang tak beruang dijadikan obyek penderita penerima 'kasih' yang wajib bagi mereka. Yang beruang dijadikan subyek pemberi kasih, sedangkan yang tak beruang dijadikan obyek kasih. Hubungan yang demikian terjalin lama dan seakan sudah urat-mengurat. Tak ada itikad untuk memutus mata rantai itu malahan seperti dibudayakan.
Bahkan seseorang layak atau tidak untuk melayani itu tergantung seberapa dekat ia dengan nilai uang itu. Kalau kaya atau paling tidak pengusaha atau memiliki jabatan pretisius pastilah jabatan untuk melayani adalah sebuah 'kelayakan' baginya. Tak peduli ia bisa atau tidak. Ia dikarunia atau tidak. Ia mau atau terpaksa. Itu bukan soal yang utama. Intinya dan menjadi senjata pengancam:"Kamu telah diberkati Tuhan maka kamu pun harus melayani Tuhan".
Sungguh mengerikan memang. Tapi itulah yang terjadi. Sukacita kebersamaan adalah sebuah ilusi yang dibikin yang akhirnya dirasakan hambar. Karena ditaruh diatas pondasi yang rapuh. Mudah terbakar. Mudah hancur. Ide, kreatifitas, kepemimpinan, kelembutan, kecakapan, kebisaan, petunjuk dan keputusan adalah milik yang empunya kebijakan. Bagi mereka yang diberikan wewenang tak memiliki kebebasan untuk mempersembahkan karunia yang dimiliki dengan maksimal. Semua itu ada dalam takaran dan standar yang sudah ditentukan. Jadi bagi barang siapa yang melampaui standar itu berarti siap-siap didepak atau tak digunakan lagi. Karena tidak mau tunduk pada 'aturan' baku yang telah ditetapkan oleh sang empunya.
Situasi yang telah menjadi sistem yang mengikat itu menjadikan tata nilai tak berlaku.Yang berlaku adalah suka atau tidak suka. Pas atau tidak.
Selama 4 tahun ini pulalah aku tidak mengambil bagian dalam satu pelayanan pun. Aku hanya berkutat pada pekerjaan rutinku. Berada dalam kepanitiaan adalah keniscayaan yang tak perlu diimpikan lagi. Karena sikapku yang vokal dan tak mau tinggal diam melihat ketidakberesan membuat hal itu sebuah ketidaknyamanan bagi empunya. Padahal aku pernah melayani di Sekolah Minggu dan Remaja. Pun aku pernah mengajar agama di sekolah. Dan pengalaman pelayanan itu pun tak membuat seorangpun memintaku untuk melayani. Tokh juga aku belum berniat karena melihat ketimpangan yang ada. Mungkin tahun depan. Aku mau coba masuk dalam pelayanan Sekolah Minggu untuk Tunas Remaja. Sebetulnya aku mau masuk kembali di dunia Remaja, tapi kurasakan ada "sekat' yang begitu tebal yang sulit bagiku ku tembus.
Hari-hari ini, biarlah menjadi persiapanku untuk masuk dalam pelayanan. Aku tak mau talenta yang Tuhan karunia kepadaku terpendam di tanah dan menjadi bau. Tak berguna.
Meski aku tahu itu tak mudah melihat kenyataan yang ada. Aku harus berani mengambil sikap. Sikap yang tak mau hanyut pada kekecewaan melihat kenyataan yang ada. Bagaimana pun dan dimana pun pasti ada halangan untuk kita jalani hidup yang Tuhan kehendaki. Tapi semua itu tergantung kita. Apakah kita mau hanyut dan tenggelam dalam kepahitan ataukah bangkit dan melangkah untuk melakukan sesuatu yang berarti bagi orang lain dan diri sendiri. Dan semua itu untuk kemuliaan Tuhan semata.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar