Aku banyak belajar banyak beberapa hari terakhir ini.
Kebiasaan tak serta merta sebagai hal yang biasa semata. Tapi itu hasil dari keputusan demi keputusan yang diambil. Meski keputusan itu seakan kecil tapi bisa berakibat besar.
Sikap sesorang bisa terlihat dari bagaimana ia mengambil keputusan. Menentukan ini boleh ada, yang itu tak boleh ada. Apakah yang ingin orang lihat dari keputusan demi keputusan itu akan mempengaruhi gambaran besar tentang siapa sebenarnya orang itu. Apakah orang akan melihatnya sebagai sosok yang baik-baik saja atau seorang pribadi yang apa adanya tanpa polesan atau pencitraan.
Kembali pada pembelajaran di atas. Memang mudah menyatakan kamu harus begini, kamu harus begitu. Tapi seringkali apa yang kita nyatakan itu dalam kenyataan sehari-hari bertolak-belakang. Tidak seperti adanya. Kita mudah mengajari orang untuk hidup mau peduli pada orang lain tapi kalau kenyataannya sendiri kita tak peduli atau tak mau memberikan waktu kita untuk peduli maka semua itu sama saja dengan omong kosong belaka.
Aku terhenyak ketika mendengar kesaksian seorang Ibu yang sudah 14 tahun hidup dalam kebersamaan di suatu komunitas tapi ternyata selama itu pula ia tak pernah dikunjungi ke rumahnya sekedar bertanya kabarnya. Kunjungan ke rumahnya ketika ada maksud untuk memberikan sesuatu kepadanya paling tidak 2 kali dalam setahun. Dia malah bertanya sebetulnya kapan saja ia seharusnya dikunjungi. Kalau Ibu itu bukan orang tak mampu dan "harus" mendapatkan "berkah" itu maka ia pun sama sekali tak akan dikunjungi. Tapi apakah "syarat"nya adalah karena kumpulan 'berkah' itu sebagai alasan?
Ah, aku melihat diriku sendiri. Aku pun berkunjung karena ada alasan. Ada sesuatu yang kubawa yang harus kusampaikan ke mereka. Aku tak pandai basa-basi ngobrol membuka pembicaraan. Mungkin pada orang-orang yang dekatku, barulah aku bisa ngobrol santai. Tapi bagi mereka yang mengharapkan sentuhan dari seseorang yang rohani tentu saja mereka mengharapkan sentuhan kejiwaan melalui lawatan. Itu artinya mereka dianggap berarti bukan karena mereka telah melakukan banyak hal atau karena mereka sebagai "obyek penerima berkah".
Ketika aku menilai orang lain tak mampu melawat, berarti juga aku pun sebetulnya juga tak mampu. Memang itu bukan pekerjaan mudah. Seringkali kita "melawat" orang yang berkecukupan atau mapan hidupnya. Kalau kita bersama mereka itu berarti pula status kita pun terangkat. Kalau cara pikir kita seperti itu maka apalah arti kasih Kristus yang kita kenal sebagai pendobrak batas yang memisahkan dua pihak. Yesus pun telah menghancurkan tembok itu, mengapa kita malah mendirikan tembok itu?
Kita bisa mudah mengajarkan kasih Kristus yang tak memandang muka tapi kalau kita sendiri memandang muka apalah artinya pengajaran kita itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar