Jumat, 03 Januari 2014
Immortal
Ngeri, sadis, tak berbelas kasihan...
begitu kesan yang kudapat setelah melihat Film "Immortal" - film tentang dewa-dewa orang Yunani.
Tokoh utamanya Tertuleus. Pemuda desa biasa yang akhirnya jadi pemimpin prajurit melawan keangkuhan seorang raja yang ingin membebaskan Titans -para dewa yang jahat- yang terkurung dalam sebuah gunung dengan menggunakan sebuah busur.
Satu hal yang menarik, para dewa baik yang dipimpin Zeus begitu memegang teguh hukum (entah hukum apa itu) dimana para dewa tidak boleh berurusan atau campur tangan dengan urusan manusia. Manusia telah diberikan kehendak bebas untuk memilih berada dalam kebaikan atau kejahatan. Zeus pun hanya 'berinkarnasi' menjadi seorang guru tua yang mengajarkan Tertuleus itu menjadi pemuda yang tangguh yang nantinya akan melawan raja yang lalim itu. Dia tidak melibatkan diri berada di pihak manusia untuk melawan kejahatan. Baginya peperangannya adalah hanya melawan Titans yang terkurung itu.
Sampai satu saat Titans itu dibebaskan dari kurungan oleh raja yang lalim itu setelah mendapatkan busur Ephirus.
Rasul Paulus, pernah menulis ke jemaat di Korintus:"Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan." (1 Kor 1:22-23).
Kota Korintus ada di Yunani, tentu tahu dengan segala mitos seperti film "Immortal". Filsafat Yunani yang begitu kuat memenuhi pikiran orang-orang Yunani dimana para dewa digambarkan sebagai suatu sosok yang jauh diatas kehidupan manusia yang mempengaruhi kehidupan manusia dan ditakuti sehingga pemujaan bagi mereka dinyatakan dalam banyaknya kuil-kuil untuk menjaga agar mereka tidak murka terhadap manusia dengan segala ritual-ritualnya. Para dewa digambarkan seperti penonton yang melihat panggung dunia dengan segala hiruk-pikuknya. Sepertinya mereka memegang teguh hukum dimana para dewa tidak boleh campur tangan urusan manusia. Keterlibatan mereka hanya sewaktu-waktu kalau mereka menginginkannya dengan suatu kejadian yang spektakuler. Tiba-tiba terjadi tsunami dari laut yang menggulingkan kapal yang berisi tentara untuk menyelamatkan manusia yang dilindunginya.
Tampilan para dewa pun digambarkan seperti prajurit perang yang siap membunuh siapa saja yang melawan kehendak mereka. Sosok yang perkasa yang penuh dengan kekuatan untuk menghancurkan musuh.
Pribadi yang digambarkan sebagai para dewa itu tentu saja tercermin sebagai perwujudan iman mereka (orang Yunani) bahwa yang perkasa, tangguh dan tak takut menyerah adalah pribadi yang besar. Yang tentunya dipastikan menang atas apa saja. Pertumpahan darah, kesadisan dan tekanan bagi yang lemah adalah bagian tak terpisahkan dari kekuatan yang perkasa. Untuk menjaga yang lemah diperlukan sosok yang perkasa juga. Keperkasaan dihadapi dengan keperkasaan. Kekuatan dilawan dengan kekuatan. Tidak ada tempat bagi orang lemah dalam peperangan.
Itulah kenapa, Rasul Paulus mengatakan sebagai suatu kebodohan ketika ia mengajarkan tentang Kristus yang disalibkan. Sang Pembebas yang lemah oleh kuasa manusia. Satu hal yang bertolak belakang dengan pemahaman filsafat Yunani yang memuja keperkasaan dan bukan kelemahan. "Suatu Kebodohan" demikian kata mereka. Bagaimana mungkin Seseorang yang tersalib, yang tidak sanggup membebaskan diri dari penyaliban atas diriNya bisa dikatakan menjadi Kristus, Mesias, Sang Pembebas manusia? Hanya orang bodoh yang mempercayai hal itu...
Namun demikian, dalam tulisan kepada jemaat Korintus, dia berbicara begitu lantang kalau apa yang diberitakan adalah Injil Kristus tentang Sang Penyelamat yang disalibkan. Dia pun menantang para filsuf, para cendikiawan, orang-orang berhikmat yang mengajarkan bahwa keperkasaan adalah satu ukuran utama untuk bisa menang. Bagaimana mungkin Seorang yang lemah, yang bisa disalibkan dapat menyelamatkan orang lain. Menyelamatkan diri sendiri saja Dia tidak sanggup bagaimana bisa menyelamatkan orang lain. Itulah pemikiran orang-orang Yunani, dan bisa jadi pemikiran orang-orang duniawi saat ini. Bagi Rasul Paulus, malah dengan kerelaanNya yang mau disalibkan karena kesadisan manusia yang ingin tetap berkuasa, menunjukkan keberanianNya menanggung apa yang dibelaNya. Dia membela kebenaran dan karena kebenaranNya itulah orang-orang yang merasa terusik dengan kebenaranNya ingin membungkamNya dengan menyalibkanNya. Mereka berpikir dengan penyalibanNya itu, akan menghentikan kebenaran bahwa Ia adalah Anak Allah Yang Hidup.
Kebenaran tetaplah kebenaran yang akan terus tegak berdiri meskipun manusia dengan segala upaya membungkamnya. Dia akan tetap hidup meskipun manusia berusaha mematikannya. Dalam penyalibanNya itu pula, Kristus yang diberitakan oleh Rasul Paulus, adalah Kristus yang tetap terpaku di atas kayu salib yang tidak melakukan pembalasan terhadap mereka yang menyalibkanNya tapi malah mendoakan mereka.
Kasih karunia inilah yang tentu saja tidak dimengerti oleh orang-orang Yunani dimana mitos mereka mengajarkan bahwa untuk bisa menjalankan kehendak para dewa terutama Zeus, mereka mengutus Hercules, manusia setengah dewa, yang begitu perkasa yang tak terkalahkan, dengan kekuatan yang begitu besar. Yesus, meskipun dengan segala kuasa yang ada dalamNya, yang ditunjukkan dengan segala mukjijat seperti menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, meredakan badai dan masih banyak lagi namun tak memakai kuasaNya itu untuk menghancurkan orang-orang berdosa yang berusaha menyalibkanNya tapi malahan mengasihi mereka yang berbuat jahat tersebut dengan mendoakan mereka.
"Ya, Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat."
Kasih karunia yang melampaui segala akal. Yang tidak terpikirkan bahkan direnungkan oleh manusia-manusia berdosa. Manusia berdosa yang telah jatuh dalam kegelapan hanya tahu bahwa segala sesuatu yang menimpanya itu haruslah dibalas setimpal dengan apa yang menimpanya. Bila kesakitan yang diterimanya ia akan membalas dengan menyakiti orang lain juga untuk merasakan kesakitannya. Bila pelecehan yang diterimanya maka ia pun akan berusaha merendahkan sebanyak mungkin orang di bawah kekuasaannya untuk menunjukkan betapa dia pernah direndahkan dulu. Bila penderitaan yang diterimanya maka ia akan berusaha untuk menekan, menindas dan memaksa orang lain melakukan apa yang dia inginkan agar mereka pun harus tahu akan penderitaan yang pernah ia terima itu. Karena pemikiran orang berdosa, "para dewa" atau allah bagi mereka itu begitu jauh, tak merasakan apa yang mereka rasakan. Bahwa manusia harus memperjuangkan sendiri nasibnya. Para dewa tidak campur tangan.
Bahkan ada pendapat yang seakan lebih lembut tapi sama saja"Tuhan tidak akan menolong umatNya kalau umat itu tidak menolong diri mereka sendiri". Tuhan jauh disana dan manusia dibiarkan bergelut dengan segala permasalahannya sendiri. Tuhan tidak campur tangan. Demikian pemikiran mereka.
Sungguh ini berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh Kristus yang disalibkan itu. Dia berada di tengah-tengah manusia berdosa. Menjadi bagian di antara mereka meskipun tidak berdosa. Dia adalah Allah Yang MahaTinggi yang mau turun menjadi manusia, bukan sekedar menunjukkan keperkasaanNya semata, tapi lebih lagi mengasihi manusia yang tidak sanggup melepaskan diri dari jerat dosa. Dia mau merasakan kesakitan, pelecehan, dan penderitaan manusia. Dia disesah. Dia dimaki. Namun tidak membalas. KekuatanNya terletak bagaimana Ia menahan diri sedemikian besarnya untuk menunjukkan betapa besar kasihNya kepada manusia.
Ia sanggup memunahkan manusia dengan hembusan nafasNya saja dan menjadi umat manusia baru yang taat kepadaNya. Tapi sungguh jalan salib itulah yang dipilihNya untuk menyelamatkan manusia. Mengapa menyelamatkan? Karena jalan itulah manusia mengenal belas kasihan Allah. Yang mana manusia diajak untuk menunjukkan belas kasihan itu pula kepada sesama. Belas kasihan itulah yang menggerakkan manusia untuk saling mengasihi sebagai sesama. Belas kasihan itu pula kekuatan untuk tetap mengasihi orang-orang yang berlaku jahat kepada kita. Bukan malah membalas perlakuan mereka. Karena balas dendam itu tidak akan pernah berakhir dan tidak pernah akan memuaskan. Darah tertumpah akan dibalas dengan darah tertumpah. Demikian terus. Tidak terpuaskan.
Darah Kristus telah tertumpah, dan cukup sekali untuk selamanya supaya tidak ada lagi pertumpahan darah untuk kesewenang-wenangan manusia berdosa untuk membalas dendam. Balas dendam itu terhenti dengan memandang salib Kristus. Dia yang berkuasa tapi mau menerima pembalasan atas dosa-dosa kita. Dia yang mulia tapi mau direndahkan. Ini memang bagi orang-orang Yunani (yang mengagungkan keperkasaan) adalah sebuah kebodohan. Tapi bukankah malah sebuah kebodohan kalau manusia yang telah dimuliakan oleh Kristus mau membalas dendam atas perlakuan yang menimpa dirinya? Bukankah Kristus datang untuk manusia yang hina oleh dosa untuk dimuliakan? Bukankan Kristus mati supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa oleh maut tapi diselamatkan olehNya karena Dia pun telah dibangkitkan oleh Allah karena kebenaranNyalah yang menang atas orang-orang berdosa yang menyalibkanNya? Dia tidak untuk selama-lamanya terpaku disalibkan namun bangkit dari orang mati sebagai pemenang dan meneguhkkan kebenaran bahwa Ia adalah Anak Allah yang bangkit.
Sungguh benar hikmat Allah ini tersembunyi bagi mereka yang tidak percaya bahkan menolak pengabaran Injil Kristus yang disalibkan. Hanya oleh Roh Allah, orang dapat mengerti penyelamatan yang dikerjakan oleh Kristus itu. Semua akan disingkapkan. Selubung akan dibuka. Menjadi terang ilahi yang memancar menerangi hati yang telah dibutakan oleh balas dendam. Kasih yang menyelamatkan. Bukan upaya untuk menundukan orang lain untuk menerima pengajaran agama dengan kekerasan, perang, dan pengemboman bunuh diri. Seakan-akan orang yang mampu menebar teror itu akan bisa mengubah mindside / cara pandang orang dengan ketakutan. Apakah dengan takut orang akan menjadi percaya? Percaya bahwa yang benar itu yang berkuasa, yang kuat, yang pintar dll yang menunjukkan kelebihan manusia akan menang? Tidak. Dengan salib Kristus, Tuhan mau menyatakan cinta kasih Allahlah yang mengubah hati manusia menjadi manusia yang lemah lembut yang mengasihi sesamanya. Dengan memenangkan hati manusia yang keras menjadi lembut. Hati yang pendendam menjadi penuh belas kasihan. Bengis dengan cinta. Nafsu dengan pengendalian diri. Angkara murka dengan damai sejahtera.
Bukankah semua itu indah kedengarannya? Maukah kita mau menerima Kristus yang disalibkan?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar