Minggu, 13 November 2016
Persembahan dan Pamer Diri
Sebelum bicara tentang akhir zaman, Yesus mengomentari orang-orang yang begitu takjub melihat bangunan bait Allah yang begitu indah. Disitu mereka memuji pernak-pernik bait Allah dari persembahan mereka. Seperti petir siang hari, peringatan Yesus bahwa semua yang mereka puji itu akan runtuh dan tidak ada lagi batu diatas batu. Runtuh. Semua kemegahan itu akan lenyap. Lukas 21 : 1 - 6.
Lukas 21:5 (TB) "Ketika beberapa orang berbicara tentang Bait Allah dan mengagumi bangunan itu yang dihiasi dengan batu yang indah-indah dan dengan berbagai-bagai barang persembahan,..."
Yang menarik, itu adalah barang-barang persembahan. Kalau sebelumnya, Yesus memuji seorang janda miskin karena persembahannya yang kecil sekali dibanding semua orang, sebab mereka mempersembahkan dari kelebihan mereka sedang janda itu dari kekurangannya. Kalau disini, seakan Yesus mau membongkar kemegahan diri atas kemampuan memberi persembahan.
Ucapan syukur itu baik. Namun seringkali ungkapan syukur itu menjadi ajang memamerkan diri. Andaikata sebuah gereja yang megah selesai dibangun dan jemaat yang melihat keberhasilan mereka membangun gereja yang megah itu, satu dan yang lain
saling memuji diri lalu berkata:"Itu sound system saya yang kasih, itu piano dari orang itu, oya ya kursi-kursi ini dari pak anu....". Bukankah persembahan bagi Tuhan malah dijadikan ajang pamer diri.
Apa yang menakjubkan bagi manusia bisa saja runtuh tak tersisa. Siapa yang peduli kita telah memberi ini itu? Mungkin orang yang tahu itu akan memuji kita telah memberikan sesuatu yang berharga. Tapi apakah itu yang kita cari?
Yesus sendiri menyatakan bahwa kemegahan itu akan bisa saja lenyap. Runtuh. Tak bersisa.
Ucapan syukur yang baik haruslah dengan cara yang baik dan motivasi yang tulus
Jumat, 08 Januari 2016
Kasih yang peduli
Rasa peduli tak otomatis berbuahkan kasih
Bila kepedulian berhenti hanya untuk menghakimi maka yang nampak hanya cemoohan...
Bila kepedulian terhenti karena masalah datang maka yang nampak hanya keluhan..
Kasih keempat kawan untuk sahabatnya yang lumpuh tak berhenti ketika pintu tertutup dan penuh orang2 yang juga mau disembuhkan Yesus.
Kasih mereka untuk menggerakkan mereka untuk membuka tingkap rumah dan menurunkan sahabat mereka yang lumpuh tepat di depan Yesus.
Iman mereka dibalut oleh kasih yang peduli.
Kasih mereka tak berhenti karena masalah datang, kasih mereka mencari solusi. Dan Yesus menghargai kasih mereka itu dengan menyembuhkan sahabat mereka yang lumpuh itu.
Bila kepedulian berhenti hanya untuk menghakimi maka yang nampak hanya cemoohan...
Bila kepedulian terhenti karena masalah datang maka yang nampak hanya keluhan..
Kasih keempat kawan untuk sahabatnya yang lumpuh tak berhenti ketika pintu tertutup dan penuh orang2 yang juga mau disembuhkan Yesus.
Kasih mereka untuk menggerakkan mereka untuk membuka tingkap rumah dan menurunkan sahabat mereka yang lumpuh tepat di depan Yesus.
Iman mereka dibalut oleh kasih yang peduli.
Kasih mereka tak berhenti karena masalah datang, kasih mereka mencari solusi. Dan Yesus menghargai kasih mereka itu dengan menyembuhkan sahabat mereka yang lumpuh itu.
Senin, 06 Juli 2015
Renungan MP3
Silahkan diklik untuk downlond :
Menghadapi Tekanan dalam Penderitaan
Bukan aku tapi Kristus
Kebenaran Kristus vs Kepalsuan Iblis
Menghadapi Tekanan dalam Penderitaan
Bukan aku tapi Kristus
Kebenaran Kristus vs Kepalsuan Iblis
Rabu, 11 Maret 2015
Minta Dilayani Karena Melayani
#sebuahcatatankonyol
Seperti Kristus yang merendahkan diri dari surga mulia
menjadi manusia biasa untuk melayani manusia berdosa
demikian pula hendaknya kamu tahu
karena aku melayani...
Maka akupun harus terlebih dulu mulia untuk LAYAK melayani:
punya jabatan..
pekerjaan tetap yang pretisius..
paling tidak seorang dokter atau pengusaha
yang bukan karyawan biasa yang ecek-ecek
paling tidak punya rumah megah dan mobil mentereng
jadi PAS seperti Kristus yang mulia itu
RELA melayani yang rendahan seperti kamu...
Seperti Kristus yang rela berkurban bahkan diri-Nya sendiri
bagi orang-orang berdosa dengan merelakan nyawaNya
menjadi tebusan banyak orang..
demikian pula hendaknya kamu tahu
karena aku melayani...
Maka kamupun harus paham betapa besar PENGURBANAN
waktu, tenaga, uang, kesempatan, talenta,
yang tentunya tidak sedikit
Kamu pun harus MENGHARGAI pengurbananku itu
dan tidak menganggap enteng apa yang sudah kuberikan
Seperti bayi Kristus yang menerima mas, kemenyan dan mur
sebagai persembahan orang-orang majusi
demikian pula hendaknya kamu tahu
karena aku melayani...
Maka kamupun harus menyerahkan harta, pujian dan kemuliaan
untuk diriku yang susah payah melayanimu
karena itu memang hakku, dan karena untuk semua itu aku MAU
melayanimu...
Kamis, 29 Januari 2015
Jangan Salah Menyampaikan Suatu Pesan
Seringkali kita sok tahu lebih dari apa yang
sebenarnya kita tahu. Kita merasa diri lebih mengetahui segala sesuatu daripada
Allah Yang Maha Tahu. Kita merasa lebih paham maksud Firman Tuhan bahkan dari
Allah sendiri. Dengan pongahnya seringkali kita mengganggap penafsiran kita
yang paling benar.
Mendengar kotbah Minggu kemarin (25 Januari 2015 di GKI Tegal) oleh
Bapak Nicolas Kurniawan dari GKI Bromo Malang, aku dibukakan sesuatu yang baru
tentang nabi Yunus. Selama ini, persepsiku tentang cerita di Kitab Yunus adalah semata-mata hanya
tentang bagaimana Allah “mengubah” keputusan-Nya karena melihat pertobatan
orang-orang Niniwe. An sich, hanya itu. Padahal ada satu hal yang menarik yang
disampaikan Bapak Nicolas kalau ternyata nabi Yunus menyampaikan seruan kepada
orang Niniwe bukan seperti yang Tuhan kehendaki.
Memang Tuhan meminta nabi Yunus untuk
menyampaikan seruan tapi bukan berarti itu adalah tentang 40 hari lagi kota itu
akan dijungkirbalikkan. Bisa jadi benar juga bahwa 40 hari lagi kota itu akan
dibinasakan tapi intinya bukan pada pemberitaan penghukuman itu. Tapi
seruan yang dimaksud Allah adalah supaya
orang Niniwe itu bertobat sebab alasan Allah adalah banyak orang yang mengeluh
tentang kejahatan orang Niniwe. Seruan pertobatan karena melihat kejahatan itu
didasari oleh kemurahan dan kasih karunia Allah semata. Allah murka atas
kejahatan manusia, ya, itu benar. Tapi Allah juga penuh kasih sayang agar
manusia bertobat dan berbalik dari jalannya yang sesat.
Ini berbeda dengan motivasi yang “menguasai” nabi
Yunus. Ini mungkin kita bisa pahami karena ia sebagai nabi Israel yang diminta
untuk menyampaikan Firman Allah pada ibukota negara yang pada waktu itu
menguasai Israel. Betapa geramnya Yunus ketika ia diminta untuk menyampaikan
Firman Tuhan pada musuh bangsanya. Mereka telah nyata-nyata menindas bangsa
Israel dan melakukan apa yang jahat pada bangsa Israel tapi kenapa Allah
menaruh perhatian pada mereka. Kegeraman itulah yang mendasari nabi Yunus
menyampaikan berita penghukuman pada kota itu.
Di ayat Yunus 1:2, dikatakan “Bangunlah, pergilah
ke Niniwe, kota yang besar itu, berserulah terhadap mereka karena kejahatannya
telah sampai kepadaKu”. Ditegaskan lagi pada Yunus 3:2 yakni setelah Yunus
keluar dari ikan besar :”Bangunlah, pergilah ke Niniwe, kota yang besar itu,
dan sampaikanlah kepadanya seruan yang Kufirmankan kepadamu.” Tuhan menyatakan
“berserulah terhadap mereka” dan “sampaikanlah kepadanya seruan... .” Tuhan
tidak secara eksplisit menyatakan seruan yang harus disampaikan oleh nabi
Yunus. Bisa jadi tentang penghukuman 40 hari lagi Niniwe akan
ditunggangbalikkan karena memang pada ayat 3:10 dinyatakan Allah menyesal
karena malapetaka yang telah dirancangkanNya. Bisa jadi bukan hanya berita
penghukuman saja.
Sekarang pertanyaannya apakah hanya tentang
penghukuman saja berita yang harus disampaikan oleh nabi Yunus pada kota
Niniwe? Tidak adakah berita pengampunan dan ajakan untuk bertobat? Itu tidak
disampaikan oleh nabi Yunus (lebih tepatnya penulis kitab Yunus tidak
memberitakan kabar itu). Yang tercatat adalah nabi Yunus tahu bahwa Allah
adalah Allah yang pengasih dan penyayang. Dan Allah yang demikianlah dijadikan
alasan bagi dia untuk melarikan diri dari panggilan Allah. Dia beralasan bahwa
Allah pasti mengampuni orang Niniwe. Karena Allah akan mengampuni orang Niniwe
maka ia enggan ke Niniwe dan melarikan diri dari panggilan itu.
Tapi kenapa nabi Yunus menjadi marah setelah
Allah tidak jadi menghukum Niniwe? Bukankah itu satu hal yang baik dimana ada
orang yang bertobat dan terluput dari malapetaka? Bisa jadi dia marah karena
malu dimana sebagai seorang nabi perkataannya tidak terjadi maka pastilah orang
akan menganggapnya sebagai nabi palsu. Dia marah kembali mengungkit alasan
pembenaran diri kenapa dia dulu menjauh dari panggilan Allah dan menyalahkan
Allah. Atau karena dia tahu Allah itu murah hati maka dia enggan mengetahui
bahwa musuhnya itu akhirnya bertobat dan menyesali perbuatannya yang jahat
sehingga tidak jadi dihukum oleh Allah. Hal terakhir itu pula mungkin yang
mendasari seruan nabi Yunus. Seruan penghukuman saja yang tidak disertai seruan
untuk bertobat.
Seringkali pun kita terjebak pada hal tersebut.
Kita lebih suka menyampaikan “kebenaran” pada musuh-musuh kita akan penghakiman
dan penghukuman yang akan menimpa mereka. Seringkali motivasi kita bukan supaya
mereka bertobat tapi lebih didasari oleh kegeraman hati kita sehingga kita
lebih suka melihat musuh kita dihukum Allah
dan meskipun mereka nantinya bertobat kitapun lebih suka mereka menerima
lebih dulu penghukuman itu sebelum akhirnya mereka bertobat. Kita akan jadi
marah bila ternyata penghukuman itu tidak terjadi. Paling tidak mereka merasakan
penderitaan yang sama kita alami karena kejahatan mereka lakukan pada kita.
Impas.
Ada seorang yang terkenal di dunia maya namanya
Jonru. Banyak orang membencinya (meskipun banyak pula yang menyukainya) bukan
karena apa yang disampaikannya benar atau salah. Lebih pada motivasi apa
dibalik semua hal yang ia lakukan. Dia selalu menyampaikan hal-hal yang mungkin
saja benar tapi apa yang disampaikannya mendorong orang menjadi marah dan benci
akan seseorang atau sekelompok orang. Pembelaannya tentulah bahwa apa yang
disampaikan itu adalah suatu kebenaran tapi itu tidak serta merta akan
membenarkan cara yang ia lakukan.
Ketika kita ingin menyampaikan kebenaran tapi itu
didasari oleh kebencian di hati kita maka pesan yang diterima oleh orang itu
bisa jadi samar. Bersyukurlah kalau ternyata kebenaran itu membuat orang itu
bertobat seperti orang-orang Niniwe tapi bila tidak maka kebencian saja yang
akan diterimanya. Masalah ada pada kita bukan pada kebenaran itu. Apakah kita
mau jujur pada diri sendiri bila kita diperhadapkan pada kebenaran itu? Bila
kebenaran itu dinyatakan pastilah ada konsekuensi yang akan dipilih apakah
menerima kebenaran itu ataukah menolaknya. Bila ternyata kebenaran itu adalah
suatu perubahan pada diri musuh kita sehingga mereka tidak lagi menjadi musuh
kita karena pertobatannya, apakah kita siap menerima kenyataan itu? Bila kita
tidak siap dan tetap “membiarkan” musuh kita tetap jadi musuh kita bisa jadi
itu adalah alasan kita enggan untuk menyatakan kebenaran.
Kebenaran itu tidak berhenti menjadi kebenaran
milik kita pribadi. Kebenaran Allah yang menjadi pesan yang harus kita serukan
pada dunia yang menuju kebinasaan adalah kebenaran yang sempurna dimana murka
Allah nyata pada kejahatan manusia dan Allah mau manusia bertobat. Kebenaran
itu tidak berhenti pada penghakiman Allah saja tapi berlanjut pada kasih
karunia Allah yang mau mengampuni. Tidak berhenti jika manusia yang berbuat
jahat harus menanggung akibat dari kejahatannya itu. Yunus belajar tentang hal
ini.
Bahkan Yunus belajar sampai 3 kali. Kali pertama
ia alami sendiri ketika ia bersedia dilempar ke laut untuk meredakan amarah
Allah dalam laut yang bergelora karena ia menjauh dari panggilan Allah namun
Allah menyelamatkan dengan mengutus ikan besar menelannya. Yang kedua, ketika
kota Niniwe yang layak dihukum Allah tidak jadi mengalami penghukuman itu
karena mereka bertobat dan yang terakhir bagaimana Yunus yang mau mati dihiburkan
dengan adanya pohon jarak yang menaunginya ketika terik matahari.
Pesan kebenaran harus disampaikan dan bila pesan
itu ditujukan pada kita agar kita menyampaikannya pada dunia kita tak boleh
enggan. Sekalipun enggan, Allah kita telah memilih kita dan tidak berpaling
dari pilihan-Nya itu meskipun kita bisa jadi berpaling dari panggilan-Nya. Dia
akan tetap mengejar kita dan menangkap kita sampai kita menuntaskan tugas
panggilan kita. Pesan kebenaran itulah yang mula-mula akan mengubahkan kita
sehingga kita bisa menyampaikannya pada dunia.
(pekauman kulon-dukuhturi, tegal ; 30 Januari 2015)
Jumat, 21 November 2014
Kebenaran Kristus versus Kepalsuan Iblis
Bahan renungan: Yoh
18 : 33 - 40
“Apakah
Kebenaran itu?”
Pertanyaan menggantung dari Pilatus pada Yesus itu dinyatakan ketika ia mengadili Yesus setelah diserahkan
oleh orang-orang Yahudi (Yoh 18:38a). Dia tak menunggu jawaban Yesus. Dia
lanjutkan dengan tindakan sendiri yang menurutnya benar untuk berusaha ‘menyelamatkan’ Yesus yang
tidak didapati melakukan satu kesalahan pun. Dia bertindak demikian seakan-akan
dia berkuasa atas diri Yesus dengan menawarkan pilihan untuk ‘membebaskan’
Yesus. Namun ternyata apa yang dilakukannya itu malah ditolak oleh orang-orang
Yahudi. Dan mereka lebih memilih Barabas, seorang penyamun yang nyata-nyata
seorang penjahat. Mereka tidak mau
menerima Yesus sebagai Raja dan menganggap-Nya sebagai penjahat yang
‘layak’ untuk disalibkan.
Yesus telah banyak berbuat baik dan
menunjukkan kasih-Nya pada orang-orang Yahudi dengan menyembuhkan orang-orang
sakit dan mengusir setan-setan. Namun mereka tetap menolak-Nya. Yesus telah
memberikan kesaksian yang baik melalui perkataan maupun perbuatan-Nya dan apa
yang disaksikan-Nya itu adalah kebenaran. Dan orang-orang yang menerima-Nya
adalah orang-orang yang mau percaya pada kebenaran yang disaksikan-Nya itu.
Menerima
adalah kata kunci untuk percaya. Dengan
menerima, kita mendapatkan apa yang diberikan oleh Yesus. Jika Yesus adalah
Raja yang menyaksikan kebenaran (Yoh 18:37) maka apa yang kita terima adalah
kuasa untuk hidup dalam kebenaran itu. Inilah yang membedakan Yesus dengan
pemimpin agama lain. Tak ada seorang pun yang berani menjamin orang yang
percaya pada suatu ajaran maka orang tersebut akan bisa hidup dengan sempurna
dalam ajaran itu. Semuanya tergantung pada kemampuan manusia yang
mempercayainya.
Hanya
Yesus yang bukan saja mengajarkan kebenaran tapi
juga memberikan kuasa bagi barangsiapa yang percaya kepada-Nya untuk bisa hidup
dalam kebenaran-Nya.
Raja
menunjukkan orang yang berkuasa. Dan pengikutnya adalah orang yang mengakui
adanya kuasa raja itu. Kuasa itu dinyatakan dengan perantara kata-kata atau
perintah. Siapa yang mendengarkan kata-kata raja dan melakukannya berarti dia
telah ‘dikuasai’ oleh raja itu dan berada dalam pemerintahannya. Ini berarti
pula siapa yang kita dengarkan akan menentukan sikap dan keputusan hidup kita?
Apa yang kita dengarkan? Bagaimana kita mendengarkannya? Semua itu akan menentukan
hakekat diri kita sebenarnya.
Satu contoh: kita mungkin ga habis pikir
dengan orang yang mau mencari kembang tujuh
rupa untuk satu syarat tertentu yang disebutkan oleh dukun yang dipercayainya.
Namun, intinya bukan pada kembang/bunga itu apakah memiliki kuasa atau tidak,
tapi pada penundukan diri pada kemauan si dukun tersebut. Kalau seseorang sudah
tunduk pada kemauannya itu berarti orang tersebut telah berada dalam kuasa
dukun itu dan roh yang menguasainya.
Mari perhatikan bagaimana ketika Adam dan
Hawa jatuh dalam dosa. Awalnya, Iblis –yang menyatakan diri sebagai ular- menyatakan
kepalsuan yaitu dengan memutarbalikkan
kebenaran firman Tuhan. Firman Tuhan
dalam Kej 2 : 16b telah nyata : “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan
buahnya dengan bebas,..” tapi ular itu memutarbalikkan dengan berkata :
“Tentulah Allah berfirman : Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan
buahnya, bukan?” Kej 3 : 1b. Iblis adalah Pendusta. Apapun yang dikatakannya
dusta (Yoh 8 : 44).
Nah, kesalahan pertama Hawa waktu itu
adalah mendengarkan perkataan itu
dan menanggapinya tanpa pertimbangan suaminya, yang pertama kali menerima
firman itu. Dia terperangkap untuk ikut mengaburkan dan menambahkan kata
“meraba” ketika semakin dibujuk oleh ular itu. Hawa melihat, memikirkan dan
mengamini apa yang dikatakan oleh ular itu sehingga bertindak sendiri -tanpa
pertimbangan Adam, suaminya- untuk mengambil dan memakan buah terlarang itu.
Dan bukan hanya berhenti menjadi pengikut ular itu tapi juga memberikan buah
itu pada suaminya untuk melakukannya juga.
Menerima dan memberikan kepada orang lain.
Itu artinya menyerahkan diri pada
kuasa Iblis untuk bertindak dosa –melawan hukum Tuhan. Semenjak itu, Iblis
berkuasa terhadap manusia karena mereka mendengarkan suara Iblis dan
melakukannya, bukan menolaknya. Iblis ‘merajai’ manusia.
Penerimaan
terhadap kepalsuan inilah yang membuat manusia berdosa tidak
dapat menerima kebenaran. Karena keduanya bertentangan. Kepalsuan hanya
memunculkan kebenaran diri sendiri bukan kebenaran Allah. Kebenaran Allah
menyatakan hidup didalam-Nya dan dalam pengaturan-Nya. Sedangkan kebenaran diri sendiri menyatakan
kebebasan tak bertanggung jawab hanya menuruti kemauan, ukuran dan pemahaman
sendiri. Kebenaran diri sendiri dinyatakan oleh Adam dan Hawa dalam menyikapi
keadaan dirinya setelah tahu mereka telanjang. Mereka menutupi ketelanjangan
mereka itu dengan hanya menyematkan daun pohon ara dan membuatnya cawat (Kej 3 : 7).
Ini membuktikan kebodohan manusia berdosa.
Mereka mengatasi masalah dengan pemahaman mereka sendiri. Tanpa tahu bahwa apa
yang mereka lakukan itu tidaklah sempurna. Bila daun pohon ara dijadikan cawat
maka fungsinya hanya sementara karena cepat rusak. Mereka harus membuatnya
kembali. Berarti tak sempurna. Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Allah
dengan membuat pakaian dari kulit
binatang yang lebih awet dan sempurna menutupi ketelanjangan tubuh mereka tak
sekedar hanya menutupi kemaluan mereka (Kej 3:21). Meskipun untuk itu, Allah
harus menumpahkan darah binatang itu. Inilah mengisyaratkan makna penebusan
sesungguhnya. Perlu penumpahan darah.
Dalam penebusan,
Allah melakukan dengan sempurna – didalam Kristus Yesus. Sedangkan manusia mencari jalannya sendiri untuk menebus
dosa mereka. Banyak hal yang mereka lakukan dengan cara mengandalkan ritual,
tata cara ibadah, hukum ini dan itu serta aturan penyucian diri yang hanya
nampak luarnya saja tanpa bisa menyelesaikan masalah sesungguhnya yaitu
pemberontakan terhadap pemerintahan Allah. Bersikap mampu mengatasi segala sesuatu
sendiri adalah bukti keberdosaan manusia. Egois. Begitu banyak orang merasa
dirinya saleh dan benar sehingga tak memerlukan penebusan. Menolak karya penyelamatan Allah dalam diri Yesus Kristus. Mereka
lebih mendengarkan suara hati mereka dan suara Iblis dalam menjalankan
kehidupan ini.
Padahal dengan pemberontakan itu, manusia menjadi takut dekat dengan Allah dan bersembunyi.
Rasa bersalah membelenggu mereka. Mereka membela diri dengan mengesampingkan
tanggung jawab atas keputusan yang telah mereka ambil dengan melemparkan
kesalahan pada orang lain dan yang membujuknya berbuat dosa. Rasa bersalah –yang tidak diatasi- akan
menjebak manusia untuk ‘menutupi’ dosa dengan dosa yang lain. Tanpa penyelesaian berarti dan tuntas. Tidak
ada kebenaran dalam rasa bersalah yang melumpuhkan itu. Oleh karena itu Ia
menghukum manusia yang berdosa itu supaya menyadari akan kesalahan-kesalahannya.
Hukuman Allah pun dihubungkan dengan apa yang telah mereka lakukan itu.
Ketika
mereka menerima dengan mudahnya dan
menyerah atas bujukan Iblis, maka hukuman manusia adalah kesulitan dan
kesukaran (Kej 3 : 16-19). Penderitaan akibat dosa terjadi karena manusia tidak
sanggup menolak kepalsuan yang ditawarkan Iblis, malah menerimanya dan menjadi
hamba dosa. Seorang hamba harus melakukan kemauan tuannya. Jika tuannya yang
suka akan kepalsuan maka hamba-hambanya pun melakukan hal yang sama.
Itulah
kenapa, Iblis selalu menawarkan pada manusia jalan yang mudah dan malah menuju
ke kebinasaan. Dan jalan Yesus, Sang Mesias adalah jalan salib (jalan sempit).
Jalan salib telah dilakukan-Nya sebagai bagian untuk penebusan manusia dalam
keberdosaannya dengan menanggung akibat dari dosa-dosanya itu.
Nah,
kebenaran Allah dalam Kristus Yesus itulah yang ditawarkan pada kita untuk kita percayai. Dengan ketaatan penuh, Yesus
mau dan rela menanggung derita demi kehendak Bapa, Allah-Nya, untuk mengatasi
pemberontakan kita terhadap Allah dan itu hanya Dia saja yang sanggup melakukan
dengan sempurna sebab dia Anak Allah. Kesanggupan-Nya menanggung salib untuk
menebus dosa kita menyadarkan kita
akan kemampuan-Nya untuk bisa hidup bagi Allah dan setelah Dia mati di atas
kayu salib, Dia bangkit membuktikan pembenaran diri-Nya di hadapan Allah.
“Tetapi
semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya”.
Yoh 1:12. Menerima diri Yesus juga berarti menerima
kuasa-Nya. Yesus yang sanggup mengatasi dosa dan pencobaan memberikan kuasa
yang sama juga bagi mereka yang menerima-Nya. Itulah makna kebenaran Kristus.
Darah Kristus bukan saja menebus manusia berdosa dari murka Allah tapi juga
berkuasa untuk memampukan orang yang menerima-Nya hidup dalam kebenaran (1 Pet
1:18-19). Hidup Kristus menjadi hidup kita. Tidak lagi menuruti dan
mendengarkan si jahat dengan segala kepalsuannya tapi hidup bagi Allah. Setiap
orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku, Yoh 18:37c.
Apakah kebenaran itu? Pertanyaan Pilatus itu seperti pertanyaan
kebanyakan orang. Kebenaran seperti apa yang harus didengarkan? Kesangsian akan kebenaran yang
dinyatakan oleh Allah sendiri melalui Anak-Nya dikarenakan masih ada selubung yang menutupi mata hati seseorang.
Dengan adanya selubung itu, orang terhalang untuk melihat kebenaran. Tanpa
disingkapkan maka orang tak akan percaya dan menerima kebenaran.
Seringkali
kita putus asa terhadap orang-orang
yang menentang Injil dan kebenarannya. Bagaimana mereka yang telah nyata-nyata
menerima pemberitaan Injil dan kebenarannya itu tak mau percaya? Malah
menentangnya. Hal itu karena selubung yang menutupi mata
mereka. Selubung itu berupa ilah-ilah zaman ini. “Tetapi apabila hati seorang
berbalik kepada Tuhan maka selubung itu diambil daripadanya.” 2 Kor 3 : 16.
Hanya
Roh Kudus yang sanggup membukakan selubung itu. Roh
kudus adalah Roh kebenaran bertentangan dengan roh antikristus yang
menyesatkan. Barangsiapa yang mendengarkan Roh Kudus, ia percaya akan karya
penyelamatan Yesus Kristus diatas kayu salib untuk menebus dosa kita. Dan hanya
oleh Roh Kuduslah, kita mengaku Yesus itu Tuhan (1 Kor 12:3). Itulah kasih
karunia dimana semua karena Allahlah yang bekerja di dalam kita untuk
menyelamatkan kita. Bukan berdasarkan kebenaran diri sendiri. Oleh karena itu,
apabila kita menghendaki seseorang diselamatkan dan menerima kebenaran-Nya maka
kita harus berdoa pada Allah yang
sanggup menyelamatkan orang-orang tersesat dalam dosa. Tanpa itu, sia-sialah
kita berusaha menyatakan dengan segala pemahaman dan pengetahuan tentang Injil
Kristus.
Pekerjaan Iblis menentang manusia untuk menerima kebenaran. Karena kebenaran itu
memerdekakan mereka (bandingkan dengan Yoh 8 : 32). Kesanggupan kita menolak
bujuk rayu / hasutan Iblis untuk menentang pemerintahan Allah karena
pengendalian diri yang juga adalah buah Roh. Kita tidak boleh tunduk kepada
Iblis tapi tunduk kepada Allah. Bila kita tahu apa itu kebenaran maka kita pun
akan tahu bagaimana sifat kepalsuan itu. Karena kepalsuan itu selalu bertolak
belakang dengan kebenaran.
Lihat apa yang ditawarkan Iblis selalu bertentangan dengan Firman Allah. Pelacuran
/ percabulan bertentangan dengan penebusan. Melacur itu berarti menjual diri
sedangkan penebusan itu berarti telah dibeli dan dibayar lunas. Melacur membuat
diri tak berharga tapi oleh penebusan Kristus, kita menjadi berharga. Hawa
nafsu duniawi bertentangan dengan jalan salib penderitaan Kristus. Jadi kita
tak perlu mempelajari seluk-beluk Iblis untuk dapat mengetahui kejahatan itu
tapi cukup dengan mengenal kebenaran itu sendiri maka kita akan tahu seperti
apa si jahat itu dan segala perbuatannya. Karena mereka bertentangan.
Karena itu bagaimana kita akan bisa hidup dalam kebenaran? Kita harus
mau dipimpin oleh Roh Kudus. Dengan pimpinan Roh Kudus, kita akan menghasilkan
buah Roh yang nyata dan memampukan kita untuk menolak segala tipu daya Iblis. Apabila
roh jahat yang mengendalikan diri seseorang maka merusak dirinya dan hidupnya.
Mencuri apa yang Tuhan karuniakan padanya, membunuh pikiran, perasaan dan
kehendak untuk melakukan perbuatan baik serta membinasakan jiwanya karena
menerima hukuman yang akan datang.
Seringkali proses penginjilan disertai dengan pengusiran setan-setan.
Hal itu untuk mempersiapkan jalan bagi Roh Kudus membuka hati seseorang untuk
percaya pada Kristus Tuhan. Dalam Kitab Injil Markus, malahan penginjilan dan
pengusiran setan senantiasa beriringan dan dinyatakan sebagai apa yang Tuhan
Yesus lakukan. Pemahamannya adalah ketika kebenaran itu datang maka yang palsu
itu akan menyingkir.
Namun demikian dalam Injil Markus, Tuhan
Yesus menolak kesaksian roh-roh jahat
tentang diri-Nya dan memperintahkan mereka diam (Mark 1:24-25 ; 5:7-8). Tuhan
Yesus tidak mau membiarkan pengakuan roh-roh jahat itu sebagai dasar iman orang
percaya pada-Nya. Meskipun roh-roh jahat itu tahu siapa sebenarnya Yesus
sebagai Anak Allah. Kepalsuan tidak akan mungkin menjadi dasar bagi kesaksian
kebenaran.
Inilah kenapa Rasul Yohanes dalam suratnya
yang pertama mengingatkan kita untuk hidup
dalam terang bukan di dalam kegelapan. Maksudnya adalah supaya kita hidup
dalam pengakuan diri, terus terang, keterbukaan dan tidak ada yang
ditutup-tutupi di hadapan Allah. Karena memang tak ada yang mungkin di sembunyikan dihadapan-Nya. Pengakuan
kita akan keadaan kita yang berdosa menjadi dasar untuk kita bisa menerima
pengampunan yang diberikan Allah dalam Yesus Kristus. Tanpa itu, kita berdusta
baik terhadap diri sendiri maupun terhadap Allah. Bila kita berdusta maka kebenaran
tak ada di dalam kita.
Demikian juga dengan pengakuan itu pula hendak menyatakan sungguh Yesus mati bagi kita dan
kita menerima-Nya. Oleh karena itu, pemberitaan Injil senantiasa akan menantang
orang yang mendengarnya untuk mengakui keberdosaan dirinya dan membawa orang
itu pada pertobatan. Sebab Allahlah yang dalam Yesus Kristus yang sanggup
menyucikan orang itu dari segala dosa dan kejahatan (1 Yoh 1:5-10).
Kebenaran itu akan memerdekakan kita dari rasa takut akan penghukuman yang akan datang
karena Yesus Kristus sendiri telah menanggung hukuman atas dosa-dosa kita.
Kebenaran itu memerdekakan kita dari rasa cemas akan kehidupan masa depan sebab
Yesus telah bangkit dari antara orang mati dan hidup selamanya serta senantiasa
jadi perantara kita. Dia telah menyelamatkan kita maka kita akan
diselamatkan-Nya lagi.
Dia sanggup
karena Dia berkuasa. Setelah Dia bangkit, segala kuasa di bumi dan di sorga ada
di tangan-Nya (Mat 28:18). Itu berarti manusia yang telah ‘dirajai’ oleh Iblis
semenjak Adam menyerah pada tipu dayanya dibebaskan oleh Kristus. Segala kuasa
di bumi ada di tangan-Nya itu berarti Iblis telah dikalahkan. Kejahatannya telah
dipatahkan kuasanya. Kegelapan disingkapkan oleh terang kebangkitan Kristus.
Sekarang ini yang terjadi adalah peperangan antara kebenaran Kristus
yang menang dengan kepalsuan Iblis yang berusaha terus membuat manusia jatuh
lagi ke dalam dosa. Peperangan ini telah dimenangkan
oleh Kristus dan akan dimenangkan-Nya lagi. Bagi orang-orang percaya, kita
telah lebih daripada pemenang karena kemenangan Kristuslah yang dianugerahkan
pada kita (Rom 8:37).
Cara pandang ini akan membawa kita pada
kehidupan berkemenangan. Tidak takut lagi pada si jahat dan digentarkan oleh
kuasanya. Mereka telah kalah. Masakan kita akan menyerah pada roh-roh yang
lemah itu dan yang telah dikalahkan? Bila mereka seakan-akan berkuasa maka kita
tahu kuasanya itu terbatas dan tidak untuk selamanya. Itu penghiburan kita akan
peperangan melawan kejahatan. Kejahatan telah dikalahkan oleh kebaikan Kristus
dan akan dikalahkan lagi. Tinggal kita mau menjadi
bagian yang mana? Mau jadi hamba kebenaran atau hamba kejahatan?
Septa Widodo Munadi,
Ditulis pertama kali di Godong 30 Oktober 2010 selesai pk. 07.00
Dan disampaikan kembali dalam renungan di Kebaktian Doa di GKI Tegal
30 Oktober 2012 (pk.06.00 s.d. 06.40)
Lagu: NKB 87 :1,3
NKB 12 : 1-3
JUNJUNGAN YANG KUPILIh ( NKB 87)
1.
Junjungan
yang kupilih, Yesusku Penebus. Yang
bangkit dari mati berkuasa seterus.
Kendati banyak orang mengejek, mencela, kuikut suaraNya lembut mesra.
Ref.
Benar, benarlah hidup
Yesusku. Bersamaku di jalanku suaraNya kudengar
Benar, benarlah hidup
Yesusku. Dimana Dia kudengar? Di dalam hatiku.
2.
Dimana,
kapan saja kasihNyapun jelas. Di saat ‘ku gelisah dihiburku lekas.
Di hujan, angin ribut, dipimpin langkahku’ ‘ku yakin, kami nanti ‘kan bertemu.
3.
Menyanyilah
umatNya, memuji Tuhanmu!
Nyanyikan
Haleluya, agungkan Rajamu.
Harapan
bagi orang yang mau mencariNya,
sebab
Yesusmu hidup selamaNya.
o
Tuhanku, ‘kau datang ke dunia (NKB 12)
1. O Tuhanku, ‘kau datang ke dunia, untuk menghapus dosa umatMu.
Bagai seekor rusa yang dahaga, padaMu, Tuhanku, merindu hatiku.
Ref.
Aku berserah, ya Tuhan, padaMu,
ku b’rikan bagiMu seluruh hidupku.
2. ‘Ku bersedih kar’na tekanan dosa dan jiwaku terkungkung dalam g’lap.
Kini berikan damai dan sentosa, tahirkan diriku dan dosa pun lenyap.
3. O Roh Kudus, berikanlah karunia, hancurkan kuasa setan dalamku.
Jadilah pandu dan terang s’lamanya dan bagi Tuhanku siapkan hatiku.
4. Bila kelak berakhirlah dunia, di sisiMu ‘ku akan berteduh.
Dan kini bak peronda yang berjaga, begitu jiwaku menanti datangMu.
Kelayakan untuk Melayani Tuhan
"Samuel belum mengenal Tuhan ; firman TUHAN belum pernah dinyatakan kepadanya." (1 Sam 3:10)
Terlibat pelayanan tapi belum tentu mengenal Tuhan dengan baik. Aneh ini. Tinggal di Bait Allah tapi tak mengenal Tuhan.
Tapi itu nyata terjadi pada kebanyakan orang Kristen. Itupun terjadi pada diriku. Sudah 4 tahun, Tapi bukannya aku malah jadi dekat dengan Tuhan malahan aku makin jauh dari Tuhan. Kerohanianku jadi kering. Spiritualitasku hambar. Nilai persekutuan dalam hidupku hanyalah sebagai ilusi.
Tak lagi kubisa mendengar suaraNya yang lembut menuntunku.
Tak mampu aku mendapatkan pencerahan hikmatNya yang menghiburku.
Entahlah, apakah karena aku berada pada posisi dimana aku melihat kenyataan yang tidak semestinya aku saksikan. Sesuatu yang ideal adalah hal yang hanya meluncur di atas mimbar tapi menjadi barang yang langka di tanah tempat firman itu berpijak. Jabatan dan status menjadi jauh lebih penting daripada karunia Tuhan itu sendiri. Uang telah membutakan banyak orang sehingga orang pun dinilai keberadaannya sesuai uang yang ada padanya. Memang uang adalah penukar suatu nilai. Tapi masalah terjadi apabila menilai orang dengan uang itu.
Yang beruang itulah yang dilayani lebih. Yang tak beruang dijadikan obyek penderita penerima 'kasih' yang wajib bagi mereka. Yang beruang dijadikan subyek pemberi kasih, sedangkan yang tak beruang dijadikan obyek kasih. Hubungan yang demikian terjalin lama dan seakan sudah urat-mengurat. Tak ada itikad untuk memutus mata rantai itu malahan seperti dibudayakan.
Bahkan seseorang layak atau tidak untuk melayani itu tergantung seberapa dekat ia dengan nilai uang itu. Kalau kaya atau paling tidak pengusaha atau memiliki jabatan pretisius pastilah jabatan untuk melayani adalah sebuah 'kelayakan' baginya. Tak peduli ia bisa atau tidak. Ia dikarunia atau tidak. Ia mau atau terpaksa. Itu bukan soal yang utama. Intinya dan menjadi senjata pengancam:"Kamu telah diberkati Tuhan maka kamu pun harus melayani Tuhan".
Sungguh mengerikan memang. Tapi itulah yang terjadi. Sukacita kebersamaan adalah sebuah ilusi yang dibikin yang akhirnya dirasakan hambar. Karena ditaruh diatas pondasi yang rapuh. Mudah terbakar. Mudah hancur. Ide, kreatifitas, kepemimpinan, kelembutan, kecakapan, kebisaan, petunjuk dan keputusan adalah milik yang empunya kebijakan. Bagi mereka yang diberikan wewenang tak memiliki kebebasan untuk mempersembahkan karunia yang dimiliki dengan maksimal. Semua itu ada dalam takaran dan standar yang sudah ditentukan. Jadi bagi barang siapa yang melampaui standar itu berarti siap-siap didepak atau tak digunakan lagi. Karena tidak mau tunduk pada 'aturan' baku yang telah ditetapkan oleh sang empunya.
Situasi yang telah menjadi sistem yang mengikat itu menjadikan tata nilai tak berlaku.Yang berlaku adalah suka atau tidak suka. Pas atau tidak.
Selama 4 tahun ini pulalah aku tidak mengambil bagian dalam satu pelayanan pun. Aku hanya berkutat pada pekerjaan rutinku. Berada dalam kepanitiaan adalah keniscayaan yang tak perlu diimpikan lagi. Karena sikapku yang vokal dan tak mau tinggal diam melihat ketidakberesan membuat hal itu sebuah ketidaknyamanan bagi empunya. Padahal aku pernah melayani di Sekolah Minggu dan Remaja. Pun aku pernah mengajar agama di sekolah. Dan pengalaman pelayanan itu pun tak membuat seorangpun memintaku untuk melayani. Tokh juga aku belum berniat karena melihat ketimpangan yang ada. Mungkin tahun depan. Aku mau coba masuk dalam pelayanan Sekolah Minggu untuk Tunas Remaja. Sebetulnya aku mau masuk kembali di dunia Remaja, tapi kurasakan ada "sekat' yang begitu tebal yang sulit bagiku ku tembus.
Hari-hari ini, biarlah menjadi persiapanku untuk masuk dalam pelayanan. Aku tak mau talenta yang Tuhan karunia kepadaku terpendam di tanah dan menjadi bau. Tak berguna.
Meski aku tahu itu tak mudah melihat kenyataan yang ada. Aku harus berani mengambil sikap. Sikap yang tak mau hanyut pada kekecewaan melihat kenyataan yang ada. Bagaimana pun dan dimana pun pasti ada halangan untuk kita jalani hidup yang Tuhan kehendaki. Tapi semua itu tergantung kita. Apakah kita mau hanyut dan tenggelam dalam kepahitan ataukah bangkit dan melangkah untuk melakukan sesuatu yang berarti bagi orang lain dan diri sendiri. Dan semua itu untuk kemuliaan Tuhan semata.
Kamis, 13 November 2014
Jangan Memandang Muka
Aku banyak belajar banyak beberapa hari terakhir ini.
Kebiasaan tak serta merta sebagai hal yang biasa semata. Tapi itu hasil dari keputusan demi keputusan yang diambil. Meski keputusan itu seakan kecil tapi bisa berakibat besar.
Sikap sesorang bisa terlihat dari bagaimana ia mengambil keputusan. Menentukan ini boleh ada, yang itu tak boleh ada. Apakah yang ingin orang lihat dari keputusan demi keputusan itu akan mempengaruhi gambaran besar tentang siapa sebenarnya orang itu. Apakah orang akan melihatnya sebagai sosok yang baik-baik saja atau seorang pribadi yang apa adanya tanpa polesan atau pencitraan.
Kembali pada pembelajaran di atas. Memang mudah menyatakan kamu harus begini, kamu harus begitu. Tapi seringkali apa yang kita nyatakan itu dalam kenyataan sehari-hari bertolak-belakang. Tidak seperti adanya. Kita mudah mengajari orang untuk hidup mau peduli pada orang lain tapi kalau kenyataannya sendiri kita tak peduli atau tak mau memberikan waktu kita untuk peduli maka semua itu sama saja dengan omong kosong belaka.
Aku terhenyak ketika mendengar kesaksian seorang Ibu yang sudah 14 tahun hidup dalam kebersamaan di suatu komunitas tapi ternyata selama itu pula ia tak pernah dikunjungi ke rumahnya sekedar bertanya kabarnya. Kunjungan ke rumahnya ketika ada maksud untuk memberikan sesuatu kepadanya paling tidak 2 kali dalam setahun. Dia malah bertanya sebetulnya kapan saja ia seharusnya dikunjungi. Kalau Ibu itu bukan orang tak mampu dan "harus" mendapatkan "berkah" itu maka ia pun sama sekali tak akan dikunjungi. Tapi apakah "syarat"nya adalah karena kumpulan 'berkah' itu sebagai alasan?
Ah, aku melihat diriku sendiri. Aku pun berkunjung karena ada alasan. Ada sesuatu yang kubawa yang harus kusampaikan ke mereka. Aku tak pandai basa-basi ngobrol membuka pembicaraan. Mungkin pada orang-orang yang dekatku, barulah aku bisa ngobrol santai. Tapi bagi mereka yang mengharapkan sentuhan dari seseorang yang rohani tentu saja mereka mengharapkan sentuhan kejiwaan melalui lawatan. Itu artinya mereka dianggap berarti bukan karena mereka telah melakukan banyak hal atau karena mereka sebagai "obyek penerima berkah".
Ketika aku menilai orang lain tak mampu melawat, berarti juga aku pun sebetulnya juga tak mampu. Memang itu bukan pekerjaan mudah. Seringkali kita "melawat" orang yang berkecukupan atau mapan hidupnya. Kalau kita bersama mereka itu berarti pula status kita pun terangkat. Kalau cara pikir kita seperti itu maka apalah arti kasih Kristus yang kita kenal sebagai pendobrak batas yang memisahkan dua pihak. Yesus pun telah menghancurkan tembok itu, mengapa kita malah mendirikan tembok itu?
Kita bisa mudah mengajarkan kasih Kristus yang tak memandang muka tapi kalau kita sendiri memandang muka apalah artinya pengajaran kita itu?
Kebiasaan tak serta merta sebagai hal yang biasa semata. Tapi itu hasil dari keputusan demi keputusan yang diambil. Meski keputusan itu seakan kecil tapi bisa berakibat besar.
Sikap sesorang bisa terlihat dari bagaimana ia mengambil keputusan. Menentukan ini boleh ada, yang itu tak boleh ada. Apakah yang ingin orang lihat dari keputusan demi keputusan itu akan mempengaruhi gambaran besar tentang siapa sebenarnya orang itu. Apakah orang akan melihatnya sebagai sosok yang baik-baik saja atau seorang pribadi yang apa adanya tanpa polesan atau pencitraan.
Kembali pada pembelajaran di atas. Memang mudah menyatakan kamu harus begini, kamu harus begitu. Tapi seringkali apa yang kita nyatakan itu dalam kenyataan sehari-hari bertolak-belakang. Tidak seperti adanya. Kita mudah mengajari orang untuk hidup mau peduli pada orang lain tapi kalau kenyataannya sendiri kita tak peduli atau tak mau memberikan waktu kita untuk peduli maka semua itu sama saja dengan omong kosong belaka.
Aku terhenyak ketika mendengar kesaksian seorang Ibu yang sudah 14 tahun hidup dalam kebersamaan di suatu komunitas tapi ternyata selama itu pula ia tak pernah dikunjungi ke rumahnya sekedar bertanya kabarnya. Kunjungan ke rumahnya ketika ada maksud untuk memberikan sesuatu kepadanya paling tidak 2 kali dalam setahun. Dia malah bertanya sebetulnya kapan saja ia seharusnya dikunjungi. Kalau Ibu itu bukan orang tak mampu dan "harus" mendapatkan "berkah" itu maka ia pun sama sekali tak akan dikunjungi. Tapi apakah "syarat"nya adalah karena kumpulan 'berkah' itu sebagai alasan?
Ah, aku melihat diriku sendiri. Aku pun berkunjung karena ada alasan. Ada sesuatu yang kubawa yang harus kusampaikan ke mereka. Aku tak pandai basa-basi ngobrol membuka pembicaraan. Mungkin pada orang-orang yang dekatku, barulah aku bisa ngobrol santai. Tapi bagi mereka yang mengharapkan sentuhan dari seseorang yang rohani tentu saja mereka mengharapkan sentuhan kejiwaan melalui lawatan. Itu artinya mereka dianggap berarti bukan karena mereka telah melakukan banyak hal atau karena mereka sebagai "obyek penerima berkah".
Ketika aku menilai orang lain tak mampu melawat, berarti juga aku pun sebetulnya juga tak mampu. Memang itu bukan pekerjaan mudah. Seringkali kita "melawat" orang yang berkecukupan atau mapan hidupnya. Kalau kita bersama mereka itu berarti pula status kita pun terangkat. Kalau cara pikir kita seperti itu maka apalah arti kasih Kristus yang kita kenal sebagai pendobrak batas yang memisahkan dua pihak. Yesus pun telah menghancurkan tembok itu, mengapa kita malah mendirikan tembok itu?
Kita bisa mudah mengajarkan kasih Kristus yang tak memandang muka tapi kalau kita sendiri memandang muka apalah artinya pengajaran kita itu?
Langganan:
Postingan (Atom)