Bahan Renungan: Matius
6:22-23 ; 7:1-5
Lagu: NKB 126:1,2
NKB 122:1,2 & 3
PENAYANGAN VIDEO
Watch How Boy Takes Harassment Revenge with
a Girl in a Public Bus
Kesan apa yang Bapak/Ibu lihat dari tayang
video tadi?
Coba perhatikan dalam video tersebut: ada
seorang pemuda India
yang sedang dalam sebuah bus tiba-tiba menerima tamparan dari seorang gadis di
sebelahnya karena merasa dilecehkan. Bahkan orang-orang yang duduk mendukung
tindakan gadis itu dan mempersalahkan pemuda itu.
Sesaat kemudian, keadaan berbalik ketika
pemuda bergeser tempat berdirinya (dimana ia hendak turun) berada di depan
gadis itu. Gantian pemuda itu yang menampar gadis itu karena menyentuh pemuda
itu. Sebetulnya apa yang terjadi?
Apa benar itu semata-mata karena kesalahan
pemuda itu sehingga menyentuh gadis itu?
Tapi kalau kita perhatikan, pemuda itu
menyentuh gadis itu gara-gara bus itu mendadak mengerem sehingga pemuda itu
terdorong ke depan menyentuh gadis itu. Saya pikir, pemuda itu tak bermaksud
melecehkan gadis itu. Tapi ternyata hal itu tak dipedulikan gadis itu dan
begitu cepat langsung menamparnya. Ketika keadaan berbalik, tak ada gunanya
gadis itu minta maaf.
Dari tayangan itu kita dapat belajar bahwa
seringkali kita cepat-cepat menghakimi orang lain yang melakukan kesalahan
tanpa mempedulikan kesalahan itu karena apa? Apa murni kesengajaan orang atau
karena memang keadaan yang mengakibatkan kesalahan itu…
Disini kita diminta untuk bijaksana menilai
sesuatu, tidak terburu-buru atau terbawa emosi semata. Kita harus melihat
sebuah permasalahan dengan jernih, jujur dan tidak memihak. Bukan didasari oleh
keinginan untuk merasa diri lebih baik / lebih benar daripada orang lain.
Menilai suatu kesalahan atau kita sebut
mengoreksi harus dipahami sebagai upaya untuk membetulkan kesalahan-kesalahan
yang mungkin terjadi. Tujuannya jelas yaitu memperbaiki kesalahan bukan untuk
mencari-cari kesalahan. Koreksi yang baik bukan saja melibatkan orang dalam
(orang yang terlibat) tapi juga orang luar. Melalui koreksi ini, kita bisa
melakukan evaluasi dan instropeksi.
Dengan evaluasi dan instropeksi, kita
diharapkan dapat menentukan langkah selanjutnya yang terbaik yang dapat kita
lakukan. Oleh karena itu, bagaimana kita sebaiknya memahami koreksi dari
saudara-saudara yang lain? Koreksi harus kita pahami sebagai bentuk kepedulian
orang lain pada diri kita meskipun kita sadar kadang cara pandang orang tentang
sesuatu hal terbatas bahkan sempit sehingga salah mengartikan sesuatu dengan
benar seperti video tadi. Tapi tokh, kita semestinya mau membuka diri untuk mau
dikritik, diberi masukan dan saran agar apa yang telah kita lakukan sebelumnya
menjadi lebih baik lagi.
Sekali lagi, tanpa koreksi, kita tidak akan
tahu apakah kita telah melakukan kesalahan atau tidak. Justru dengan koreksi
kita terhindar dari kesalahan yang lebih fatal. Oleh karena itu, kita tidak boleh
cepat-cepat tersinggung apabila ada orang yang mau mengkritik atau memberi
masukan pada kita. Malahan jadi PERINGATAN BAGI KITA apabila kita tidak pernah
dikritik oleh orang lain. Itu berarti kita tak dipedulikan lagi, entah
melakukan ini dan itu atau orang mulai bosan pada kita yang tidak mau dikritik.
Ini berbahaya bagi kita.
Namun bila kita berada pada pihak orang
yang harus memberikan kritik, itu haruslah didasari oleh ketulusan dan kemauan
untuk mengoreksi diri kita sendiri terlebih dahulu sebelum mengkritik orang
lain. Jangan sampai kita jadi batu sandungan dimana orang enggan mendengarkan
kita karena kritikan kita tidak sebanding tindakan yang kita lakukan artinya
kita juga melakukan kesalahan yang sama yang tidak bisa kita atasi tapi dengan
mudahnya mengkritik orang lain.
Tadi saya katakan koreksi membuahkan
evaluasi dan intropeksi. Biasanya akhir tahun adalah saat yang tepat untuk
evaluasi dan intropeksi diri. Semua itu bisa kita lakukan dengan secara katif
menanyakan pendapat orang lain terhadap diri kita atas apa yang telah kita
lakukan sepanjang tahun ini atau kita merefleksikan semua yang pernah terjadi
selama setahun ini dan belajar jujur apa yang kurang, yang belum atau tidak
kita lakukan. Istilah mudahnya kita bercermin diri.
Tentang cermin, kita pernah dengar cerita
dongeng tentang cermin ajaib.
Seorang ratu yang cantik selalu bertanya
pada cermin ajaib,”Wahai cermin ajaib, siapakah di seluruh negeri ini yang
paling cantik?”
Jawab cermin ajaib itu kepadanya,”Tidak ada
yang lebih cantik daripada sang ratu sendiri.” Mendengar itu, tentulah sang
Ratu sangat bangga.
Sampai suatu kali dia bertanya kembali
dengan pertanyaan yang sama, namun jawaban cermin ajaib,”Tidak ada yang lebih
cantik daripada Putri Salju.” Sang Ratu bukan saja terkejut tapi berubah jadi
marah tidak disangkanya ada orang yang lebih cantik daripada dirinya.
Tapi pertanyaannya kenapa harus marah? Apa
hak dia untuk marah?
Sang ratu tidak mau ada yang lebih cantik
daripada dirinya. Dan kita tahu kisah selanjutnya bahwa Sang Ratu mengupayakan
agar menyingkirkan Putri Salju dari negeri itu.
Semula diawali dengan bercermin. Yach,
dengan bercermin kita melihat keadaan kita yang sebenarnya. Yang suka
berlama-lama bercermin adalah para wanita. Ini yang seringkali membuat
bapak-bapak rada jengkel kok merias diri di depan cermin bisa begitu lama. Jadi
tidak sabaran. Bercermin berarti melihat bayangan kita. Apa yang ditampilkan di
cermin adalah pantulan dari apa yang ada dalam diri kita. Kalau kulit kita
hitam akan terlihat hitam. Kalau ada jerawat, akan nampak jerawat pula. Semua
lekuk tubuh dan paras muka kita akan terlihat seperti adanya kita. Cermin itu
jujur. Menyatakan apa adanya.
Kita ingin menonjolkan hal-hal yang baik
menurut kita dan menutupi kekurangan kita. Demikian juga setelah bercermin,
orang tak akan begitu saja berlalu. Ada
saja yang dilakukan. Kalau rambutnya acak-acakan maka akan disisir. Kalau ada
jerawat dan ingin tetap tampil cantik maka akan ditutupi dengan polesan
kosmetik yang lebih tebal. Biar kelihatan lebih menawan dikasih pewarna pipinya,
bibirnya dikasih lipstik dan seterusnya.
Ada satu tindakan
nyata setelah bercermin. Tidak tinggal diam saja. Demikian juga setelah
mengoreksi diri maka akan ada perubahan yang seharusnya kita lakukan
selanjutnya.
Saya pernah menyampaikan renungan tentang
perubahan hidup Rasul Petrus dimana ia mau menerima koreksi dari Tuhan dan
dengan rendah hati belajar untuk menerima keadaan dirinya yang pernah gagal itu
sehingga dia mau menerima kembali kepercayaan dari Tuhan bahkan untuk
menggembalakan jemaat-Nya.
Rasul Petrus adalah seorang Sanguin,
seorang yang temperamennya meluap-luap dan sulit dikendalikan. Spontan. Lebih
menonjol daripada rasul-rasul yang lain. Namun demikian ketika dia menemukan
dirinya yang diperhadapkan Tuhan Yesus akan ingatan akan kesalahan masa
lalunya, ia tak berhenti meratapi kesalahannya itu tapi melangkah maju menerima
kepercayaan kembali dari Tuhan untuk sebuah tanggung jawab yang besar.
Bahkan di Surat Galatia, kita tahu Rasul Petrus
pernah melakukan kesalahan dosa kemunafikan dimana ia mengundurkan diri dari
persekutuan jemaat yang tidak bersunat setelah datang orang-orang yang
bersunat. Kesalahannya itu ditegur keras oleh Rasul Paulus di depan jemaat
disitu. Sebagai pemimpin jemaat, tentu tidaklah mudah ditegur di depan
jemaatnya. Tapi saya kira Rasul Petrus bukanlah seorang pendendam yang mudah
sakit hati ketika ada orang yang menegurnya. Ini terbukti di suratnya yang
terakhir sebelum kematiannya, ia memuji Rasul Paulus yang telah bekerja keras
bagi jemaat Kristen dan tulisan-tulisannya yang membangun jemaat.
Jadi melalui Rasul Petrus kita belajar
menjadi pribadi yang besar yang mau dikoreksi dan belajar dari masa lalu bukan
untuk diratapi tapi koreksi itu dipakai sebagai acuan agar tidak gagal lagi
pada kesalahan yang sama. Dengan satu harapan bahwa selalu ada kemungkinan yang
lebih baik di masa depan.
Masa depan ada dalam pandangan bahwa hidup
ini bukan hanya berhenti pada kematian saja tapi terus berlanjut pada kehidupan
kekal yang disediakan Allah bagi kita yang percaya pada Kristus. Dan apa yang
telah kita lakukan di dunia ini nantinya harus dipertanggungjawabkan kepada
Tuhan yang menghakimi dengan adil dan benar.
Seorang yang mau dikoreksi adalah pribadi
yang memandang hidup ini ada tujuannya dan tujuannya itu pasti dimana kehendak
Allah boleh terjadi dalam hidupnya. Hidup ini bukan sesuatu yang kosong tanpa arah
dimana berhenti pada kematian saja setelah itu ketiadaan. Bukan. Karena bila
itu yang menjadi acuan maka orang akan dengan seenaknya menjalani hidup ini
tanpa peduli aturan atau kepada sesamanya. Yang penting dirinya senang. Orang
yang demikian tentulah tidak mau dikoreksi, baginya, dirinyalah yang paling
benar.
Oleh karena itu, setelah kita melakukan
koreksi diri haruslah dilanjutkan dengan tindakan nyata sebuah perubahan
menjadi lebih baik.
Mari kita belajar bercermin diri dan
berubah.
Selamat menyambut tahun baru 2014!
Tuhan memberkati. Amin.
Septa Widodo Munadi,
Kebaktian Doa Pagi GKI Tegal -
31 Desember 2013
Pk. 06.00 s.d. 06.45
Pk. 06.00 s.d. 06.45
NKB 126:
Tuhan memanggilmu
1.
Tuhan memanggilmu, hai
dengarlah:
“Apapun yang
terbaik ya b’rikanlah!”
Dan jangan kau
kejar hormat semu,
muliakan saja
Yesus Tuhanmu.
Ref.
Tiap karya
diberkatiNya,
namun yang
terbaik dimintaNya.
Walaupun tak
besar talentamu,
b’ri yang
terbaik kepada Tuhanmu.
2.
Sanjungan dunia jauhkanlah
dan jangan
kaudengar godaannya.
Layani Tuhanmu
dalam jerih
dalam hidupmu
yang t’lah Kauberi.
NKB 122
KU INGIN BERPERANGAI
‘Ku ingin berperangai laksana Tuhanku,
lemah lembut dan ramah, dan manis budiku.
Tetapi sungguh sayang, ternyata ‘ku cemar.
Ya Tuhan, b’ri ku hati yang suci dan benar.
‘Ku ingin ikut Yesus, mencontoh kasihNya,
menghibur orang susah, menolong yang lemah.
Tetapi sungguh sayang ternyata ‘ku cemar
Ya Tuhan, b’ri ku hati yang suci dan benar.
Ya sungguh, Jurus’lamat, cemarlah hatiku,
dan hanya ‘Kau yang dapat menghapus dosaku,
Supaya k’lak di sorga kupandang wajah-Mu
dan aku jadi sama laksana diriMu.