Bahan
Renungan :
Kejadian 4:6-16 dan 2 Korintus 2:5-11
Namanya Vicenzo Riccardi, ditemukan sudah mati
selama 13 bulan di Southampton, New york. Tubuhnya tersandar di kursi di depan
TV dan TVnya masih hidup.
Bagaimana mungkin
orang yang hilang lebih dari setahun dan tidak ada seorang pun yang merasa
kehilangan?
Dimanakah keluarganya? Mengapa listriknya masih hidup di rumahnya?
Ternyata, Riccardi
adalah seorang yang buta, sehingga dia tidak pernah benar-benar menonton TV,
sehingga ia hanya membutuhkan realitas maya itu untuk mengisi kebutuhan nyata akan
teman.
Itulah kenyataannya. Ia menjadi pribadi yang kesepian. Terasing.
Itulah kenyataannya. Ia menjadi pribadi yang kesepian. Terasing.
Selain keadaan yang
memang benar-benar sendiri, kesepian bisa diakibatkan oleh beberapa hal
seperti:
Pertama, dosa/kesalahan yang pernah
dilakukan namun tidak dibereskan yang membuat diri merasa bersalah dan tidak
layak sehingga yang ada adalah penolakan diri/menutup diri, contohnya: Kain
setelah membunuh adiknya, Habel.
Kedua, Penderitaan/malapetaka yang
sedang menimpa seseorang, contohnya : Ayub yang saleh namun kehilangan harta kekayaan
dan anak-anaknya bahkan ia terjangkiti sakit borok yang memilukan. Kesepiannya
bertambah dengan tuduhan dari sahabat-sahabatnya supaya dia bertobat karena menurut
mereka ada dosa yang mungkin ia lakukan sehingga ia tertimpa musibah.
Ketiga, Tekanan hidup yang dialami
tanpa dukungan orang lain, contohnya: Elia ketika melarikan diri ke Gunung
Horeb setelah diancam akan dibunuh oleh Izebel karena 450 nabi palsunya telah
dikalahkan Elia. Elia merasa kesepian karena ia menganggap hanya tinggal
dirinya yang menyembah Tuhan Allah di Israel.
Kesepian tersebut
membuat orang menjadi kosong/hampa. Seseorang yang kosong tidak akan dapat mampu
mengisi makna hidup bagi orang lain. Yang ada hanya upaya dirinya untuk terus
diperhatikan, dipedulikan dan dilayani. Seperti vacuum cleaner / penyedot debu
demikian pula orang tersebut di tengah-tengah persekutuan. Apa saja akan ditariknya
untuk memuaskan hasrat dalam dirinya yang tak terpuaskan.
Kesepian menimbulkan
kekosongan dalam jiwa seseorang. Contohnya: seorang perempuan Samaria dalam
Yohanes pasal 4 yang pernah bersuamikan 5
orang harus menimba air di sumur Yakub di tengah hari karena ingin
menghindari perjumpaan dengan orang-orang yang biasa mengambil air di pagi atau
sore hari. Namun Tuhan Yesus mau menjumpai dan bahkan menyapanya serta meminta
air kepadanya. Dialog terjadi. Komunikasi dimulai oleh Yesus, seorang Yahudi. Perempuan
itu mau mengakui bahwa ia adalah orang yang selalu kehausan, sehingga Ia
meminta Tuhan Yesus memberikan Air Hidup yang akan memberikan kepuasan kekal.
Seorang yang kesepian
akan terus mencari cinta bagi dirinya supaya bisa mengisi kekosongan jiwanya
itu. Tapi apa yang terjadi bukanlah hubungan cinta kasih yang sejati tapi
hubungan yang timpang – saling tergantung atau kodependensi. Relasi dengan
orang lain tidak terjalin dengan sehat. Seperti contoh: Seorang yang kesepian
bisa jadi akan menjadi aktifis gereja meskipun ia adalah seorang isteri seorang
pemabuk. Dalam hati kecilnya ia ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia
orang yang baik-baik saja meskipun bersuamikan seorang pemabuk. Tapi
kenyataannya, ia marah akan keadaan yang tidak bisa ia ubahkan itu. Dirinya
menjadi sangat tergantung dengan keberadaan suaminya yang pemabuk agar ia tetap
terlihat “lebih saleh”.
Bisa jadi ia menjadi
orang pertama yang akan sangat marah apabila suaminya itu bertobat dan berhenti
mabuk. Ia marah karena semuanya telah dirusak oleh suaminya dan ia menjadi
terbiasa dengan keadaan yang rusak itu.
Saya mau katakan
bahwa kekosongan jiwa akibat kesepian tidaklah dapat ditutupi dengan
tindakan-tindakan yang hanya terlihat / terkesan baik saja. Tapi harus ada
perubahan dari dalam diri kita untuk sungguh mengakui bahwa kita sangat
membutuhkan Pribadi yang penuh cinta kasih yang sanggup mengisi kekosongan jiwa
kita itu. Pribadi yang mau menjadi sahabat kita, pribadi yang mau menerima kita
apa adanya dan mengenal kita dengan baik. Itulah Kristus yang mau tinggal tetap
dalam hati kita untuk menjadi sahabat kita.
Janganlah seperti Kain
yang tidak mau menjadi sahabat bagi adiknya, Habel tapi malah membunuhnya.
Sebagai akibatnya, ia malah terasing dan dibuang jauh dari hadirat Tuhan.
Bahkan ketakutannya muncul ketika harus berelasi lagi dengan orang lain yang
mungkin akan bertemu dengannya sehingga ia meminta tanda perlindungan dari
Tuhan. Tanda itu memang diberikan tapi sayang ia tetap menjadi terasing.
Kesepian.
Kristus pernah
mengalami kesepian yang sangat amat lebih daripada kesepian yang pernah kita
rasakan. Ia tergantung di salib untuk menebus dosa-dosa kita, namun demikian
pada saat itu malahan murid-murid-Nya meninggalkan-Nya dan bahkan ada yang
menyangkali-Nya dan mengkhianati-Nya.
Orang-orang yang mengelu-elukan Ia waktu masuk ke Yerusalem menjadi massa yang
sama yang menyerukan “Salibkan Dia! Salibkan Dia!”
Orang Farisi dan
imam-imam kepala mengolok-olok Dia untuk turun dari salib supaya mereka menjadi
percaya. Dan Bapa-Nya sesaat lamanya meninggalkan-Nya karena Ia harus
menangggung dosa manusia.
Oleh karena itu, Yesus tahu akan keadaan kita bila kita kesepian, entah itu karena dosa, penderitaan atau tekanan hidup.
Oleh karena itu, Yesus tahu akan keadaan kita bila kita kesepian, entah itu karena dosa, penderitaan atau tekanan hidup.
Ia ada bersama-sama
kita saat kita berseru-seru dalam doa. Ia ada sebagai sahabat kita mendengar
keluh kesah kita. Juga sebagai Tuhan yang sanggup memberikan jalan keluar untuk
setiap permasalahan yang kita hadapi.
Bisa jadi orang yang
kesepian adalah orang yang begitu kritis akan sesuatu hal yang ada dalam sebuah
persekutuan. Tapi kekritisannya itu tidak dibarengi oleh kerelaan untuk mau menerima
juga kritikan dari orang lain. Mau mengkritik tapi tidak mau dikritik. Apa yang
dilakukannya itu hanyalah untuk menunjukkan eksistensi atau keberadaan dirinya
semata. Semestinya kepedulian kepada orang lain haruslah didasari oleh kasih
supaya juga membangun bukan sebagai upaya untuk merasa diri benar.
Orang yang kesepian
dalam sebuah persekutuan bisa jadi juga adalah seorang aktifis yang sibuk
dengan berbagai macam kegiatan dan peran. Kesibukan yang dilakukan tidak bisa
menutupi kesepian seseorang. Kesibukan itu dilakukan hanyalah untuk mengisi
kekosongan yang ada dalam dirinya. Dipikirnya dengan banyaknya peran dan
aktifitas itu akan membuat orang lain peduli padanya dan membutuhkannya. Tanpa
dia, orang lain tak berarti. Seakan-akan mau bilang”Aku ini orang penting”.
Sekarang, bagaimana
kita sebagai gereja yang merupakan persekutuan orang-orang beriman menanggapi
kesepian yang mungkin dialami oleh anggota jemaat?
Pertama, Gereja haruslah menjadi gereja yang “mengobati”
Kesepian itu berarti
kehilangan makna hidup. Gereja harus mampu memberi jawab bagi anggotanya bahwa
setiap orang itu memiliki peran masing-masing yang penting bagi pembangunan
tubuh Kristus. Gereja perlu menunjukkan arah pembentukan pribadi yang sesuai
dengan maksud dan kehendak Allah. Sehingga anggota jemaat mampu memaknai
hidupnya dengan hal-hal yang berarti bukan malah terjerumus pada kekosongan
hidup yang sia-sia seperti kehidupan dalam keterikatan kecanduan.
Kedua, Menciptakan persekutuan Kristen yang sejati.
Kita bisa saja mengadakan
kegiatan-kegiatan yang mendorong orang untuk lebih akrab satu dengan yang lain
seperti Minggu keakraban, Kebaktian Doa, Wisata/Piknik, Kebaktian Padang,
Retreat, Jalan Santai, dll. Namun persekutuan sejati timbul dari dalam hati
yang tulus yang mau saling menerima satu dengan yang lain. Jangan sampai kita
menjadi asing di tengah kerumunan orang dalam persekutuan karena kesepian kita yang
belum kita atasi. Oleh karena itu, dalam persekutuan Kristen perlu ditandai
dengan saling mengasihi, saling memikirkan kesejahteraan yang lain dan saling
menasehati dan menghibur. Itu pasti akan menguatkan persekutuan kita dalam
Kristus.
Ketiga, Gereja haruslah menjadi persekutuan yang
mengampuni.
Gereja adalah
persekutuan orang-orang yang dipanggil keluar dari kegelapan kepada terang-Nya
yang ajaib. Orang-orang dipersatukan dalam iman kepada Kristus yang telah
menyelamatkan umat manusia yang berdosa. Orang-orang berdosa yang dibenarkan
dalam Kristus itu tidak lagi bisa bermegah akan kesalehan pribadinya sebagai dasar
menerima orang lain, namun hanya karena kasih karunia Allah.
Oleh karena itu,
apabila dalam jemaat ada orang yang jatuh dalam dosa (yang bisa berakibat orang
tersebut seperti Kain) maka gereja dipanggil untuk bisa mengampuni dan
merangkul kembali dalam cinta kasih Kristus.
Bukan malah
menjadikannya bahan gunjingan atau olok-olokan. Karena kita pun harus menyadari
bahwa kita bukanlah orang yang sempurna dan rentan akan kelemahan. Mari kita
baca surat Rasul Paulus:
2 Korintus 2: 5-11
Amin.
Tegal,
Septa Widodo
Munadi
(disampaikan di Kebaktian Doa di GKI Tegal - Jumat, 24
Agustus 2012)
Lagu pujian
:
NKB 49 :1,3
NKB
201 :1,2
Tuhan yang pegang (NKB 49)
1.
Tak kutahu ‘kan hari esok, namun
langkahku tegap.
Bukan surya kuharapkan, kar’na surya ‘kan lenyap.
O tiada ku gelisah akan masa menjelang;
‘ku berjalan serta Yesus. Maka hatiku tenang.
Ref.
Banyak hal tak kufahami dalam masa menjelang.
Tapi t’rang bagiku ini: Tangan Tuhan yang pegang.
2. Makin t’ranglah perjalanan,
makin tinggi aku naik.
Dan bebanku makin ringan, makin nampaklah yang baik.
Di sanalah t’rang abadi, tiada tangis dan
keluh;
Di neg’ri seb’rang pelangi, kita k’lak ’kan bertemu.
3. Tak kutahu ‘kan hari esok, mungkin langit ‘kan gelap.
Tapi Dia yang berkasihan melindungi ‘ku
tetap.
Meski susah perjalanan, g’lombang dunia
menderu.
DipimpinNya ‘ku bertahan sampai akhir langkahku.
di jalan hidupku (NKB 201)
1. Di hidupku ‘ku ada sobat
yang setia,
yang s’nantiasa berjalan sertaku;
masa gelap dibuatNya terang ceria,
itulah Yesus, Jurus’lamatku.
Ref.
‘Ku tak cemas ‘kan jalan yang naik turun,
lewat lembah dan gunung yang terjal;
sebab Tuhan berjalanlah di sampingku,
memimpin ‘ku ke Neg’ri yang kekal.
2. O kasihNya besarlah tiada
taranya
dengan rela Dia mati bagiku;
kepadaNya kus’rahkan jiwa dan raga,
sejak itu Dia bimbing ‘ku s’lalu.