Siapa sich diantara kita yang tidak mau hidup nyaman? Segala sesuatu tersedia. Apa yang kita inginkan terpenuhi. Tapi kenyamanan hidup cenderung membuat kita lebih suka untuk dilayani daripada merelakan diri untuk melayani orang lain.
Kita akan kesulitan untuk keluar dari rasa nyaman yang biasanya kita rasakan. Sulit untuk melangkah keluar supaya peduli pada orang lain. Biasanya, prasyarat kita bertindak untuk orang lain adalah pertanyaan pada diri sendiri apakah kita ini sudah merasa cukup, sehingga kita bisa memikirkan orang lain. Kita ingin yang enak-enak saja. Bahkan ada yang menganut paham hedonis dengan pepatahnya yang terkenal:”kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya dan mati masuk surga”. Seakan betapa enaknya hidup seperti itu.
Tapi masalahnya, apakah hal seperti itu yang Tuhan Yesus ajarkan supaya kita jalani? Dari perikop yang kita baca tadi, ada satu hal yang menggelitik di hati kita, yaitu bahkan orang kaya yang berada di neraka sebagai orang berdosa pun memiliki “kepedulian”. Perhatikan 2 kali si kaya itu meminta kepada Abraham yang dipanggilnya bapa (yang berarti dia seorang yahudi) untuk menyuruh Lazarus:
1.) Peduli pada dirinya yang kesakitan
2.) Peduli pada saudara-saudaranya yang masih di dunia
Padahal semasa hidupnya, dia tak peduli pada Lazarus. Lazarus makan dari apa yang jatuh dari mejanya bukan karena dia sengaja memberi makanan pada Lazarus. Tapi hanya sisa. Karena pada budaya orang Yahudi makan dengan tangan bukan dengan sendok atau garpu. Sisa makanan yang menempel di tangannya itu dibersihkan ke potongan roti. Dan remah-remah itulah yang dimakan oleh Lazarus karena sudah dibuang.
Abraham semasa hidupnya juga orang yang sangat kaya raya. Tapi dia tak serakah ketika para gembalanya berebut sumur dengan gembala Lot, keponakannya, ia mengalah dan membiarkan Lot memilih tempat penggembalaan lebih dulu. Demikian juga Abraham mau berdoa syafaat bagi warga kota Sodom & Gomora supaya tidak dihanguskan oleh Allah apabila ada 10 orang benar di sana. Hal ini sangat kontras dengan si kaya itu yang hanya peduli pada hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan dirinya atau keluarganya saja.
Tapi masalahnya kepeduliannya itu sudah terlambat. Ia tidak lagi bisa meminta supaya saudara-saudaranya yang masih di dunia tidak masuk ke neraka – tempat siksaan di alam maut. Karena apa? Waktunya sudah habis. Kesempatan yang sebetulnya ada tersedia bagi dia untuk peduli pada saudara-saudaranya atau orang yang disekitarnya adalah ketika ia masih hidup di dunia ini. Ketika sudah mati berakhir sudah kesempatan itu. Doanya di neraka tidak di dengar.
Biasanya, kita baru sadar untuk peduli pada orang lain apabila kita mengalami sendiri penderitaan. Kita tidak ingin minimal orang yang kita kasihi mengalami apa yang kita derita itu. Sehingga kita lebih mudah peduli pada orang yang senasib dengan kita. Tapi kita diajak untuk melangkah keluar. Mencari orang lain untuk kita kasihi di luar zona kenyamanan kita.
Saya terus teriang dengan perkataan seorang Penatua GKI Tegal di PMJD tahun ini, saya kutip kata-katanya kurang lebih demikian : “ Janganlah kita terlalu bangga dengan saldo kas gereja sekian juta rupiah tapi itu malah menjadi isyarat bahwa sebetulnya kita belum optimal memperdayakan dana itu untuk persekutuan & pelayanan di GKI Tegal.
Mari kita perhatikan kembali orang kaya tadi. Dia bisa saja peduli pada Lazarus, si miskin karena Lazarus berbaring dekat pintu rumahnya. Pintu adalah tempat dia keluar masuk rumahnya. Aneh, apabila dia tidak tahu kalau Lazarus ada di situ sedang kelaparan dan menahan sakit karena boroknya. Dia bisa saja menghilangkan rasa lapar Lazarus dengan memberikan sedikit makanan yang layak baginya dan bisa mengobati Lazarus. Tapi ia tidak melakukannya. Dia bukan saja menutup pintu rumahnya tapi juga pintu hatinya untuk Lazarus si miskin itu. Dia berdosa bukan karena melakukan hal-hal yang salah, tapi karena dia tidak melakukan sesuatu yang baik.
Namun demikian, orang-orang berdosa pun mencoba menunjukkan ‘kasih’ pada orang yang telah mengasihi dirinya. Seperti ‘kasih’ orang kaya tadi. Dia meminta supaya Lazarus yang sudah di pangkuan bapa Abraham (artinya di sorga) untuk mengingatkan 5 saudaranya yang masih di dunia. Tentu saja, 5 saudaranya itu adalah orang-orang yang pernah mengasihi dirinya. Tapi mengapa ia tak menyesali dan mengakui kalau semasa hidupnya dia tak mau peduli terhadap Lazarus yang nyata-nyata butuh pertolongannya? Yang tinggal di dekat pintu rumahnya? Karena memang itulah ‘kasih duniawi’ sulit untuk mengakui kelemahan dan kekurangan diri kalau ternyata tidak peduli pada orang lain bahkan orang di sekitar kita. Kepedulian kalaupun ada masih terbatas , hanya peduli pada orang-orang yang masih membuat kita merasa nyaman. Tidak mau keluar.
Ada satu pemahaman yang diungkapkan oleh si kaya tadi yang mungkin bisa jadi pemahaman kita juga. Orang kaya tadi berpikir kalau ada mukjijat orang yang bangkit dari antara orang mati maka orang akan bertobat. Orang yang takjub dipikirnya akan lebih mudah bertobat. Tapi ternyata bukan itu yang Tuhan Yesus maksudkan. Tanpa kesaksian Musa dan para nabi yang berarti isi Perjanjian Lama (karena waktu Tuhan Yesus mengungkapkan cerita itu Perjanjian Baru belum ditulis) yang berarti juga pemberitaan Firman Tuhan maka mukjijat itu tiada artinya. Maka kita harus berhati-hati untuk membedakan mana mukjijat yang dari Allah atau mukjijat palsu. Sekarang banyak mukjijat palsu dan banyak orang tertarik untuk hal-hal itu sehingga mudah disesatkan oleh ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan.
Tanpa kita mengakui kebenaran Firman Tuhan maka kita takkan bertobat dengan sungguh-sungguh. Mukjijat bisa saja dipalsukan. Maka ujilah pengalaman rohani kita dengan terang Firman Tuhan. Apa yang tidak benar akan diterangi sehingga nyata mana yang benar mana yang tidak dengan Firman Tuhan. Jangan sebaliknya kita malah memaksakan pengalaman rohani kita supaya mendapatkan pembenaran pada Firman Tuhan. Jangan sampai itu terjadi.
Kita percaya pada Tuhan Yesus yang telah bangkit dari antara orang mati bukan sekedar sebagai mukjijat semata. Tapi sebagai penegasan bahwa Dialah Tuhan dan Allah membenarkan dengan membangkitkan-Nya. Dia berkuasa atas maut. Maut sebagai upah dosa telah dikalahkan-Nya. Kuasa dosa telah dikalahkan-Nya dan kita yang percaya menjadi orang-orang yang merdeka dari dosa. Itu yang seharusnya yang kita beritakan pada orang lain tentang makna Injil sebenarnya bukan sekedar sebagai mukjijat semata. Kita tak boleh berhenti membuat orang sekedar takjub dengan apa yang dilakukan Allah dalam Yesus Kristus tapi melangkah untuk membawa orang pada pengenalan akan ketuhanan Yesus Kristus dan membagikan cinta kasih-Nya itu..
Itu juga yang seharusnya menjadi landasan bagi kita apabila kita berdoa syafaat bagi orang lain yang sesat atau disesatkan. Memang ketika kita bersyafaat bagi orang lain itu berarti kita peduli pada orang tersebut. Kerinduan kita semestinya membawa mereka juga pada pengenalan yang benar akan kasih Kristus Yesus pada mereka.
Berdoa syafaat bagi orang yang sesat seperti orang yang berdiri sebagai jembatan di atas jurang yang memisahkan orang yang berdosa itu dengan Allah yang kudus. Kita berdiri sebagai perantaranya untuk memohon belas kasihan Allah bagi pengampunan orang yang kita kasihi itu. Memang tidaklah mudah. Seringkali kita cepat menyerah apabila orang yang kita doakan belum juga bertobat. Tapi ketika kita bersyafaat baginya itu berarti kita berdiri mengulurkan tangan seperti juga Kristus Yesus yang menjadi Imam Besar kita yang senantiasa berdoa demi keselamatan kita. Kita tidak sendirian. Kita bersama Kristus menunjukkan kasih Bapa supaya orang yang kita doakan itu boleh diselamatkan.
…selama masih dapat dikatakan "hari ini"… kata penulis kitab Ibrani. Selama kita masih di dunia ini kita diberi kesempatan untuk melakukan sesuatu bagi orang lain yang kita kasihi. Dengan menasihati, menegur atau bersyafaat bagi mereka yang menegarkan hati dalam dosa. Sebelum semua terlambat.
Dua hari lalu kita memperingati HUT Kemerdekaan RI ke-66. Sebagai bangsa yang merdeka, kita diajak untuk berlaku seperti orang yang merdeka. Yaitu orang yang tidak terbelenggu oleh kuasa lain yang menindas. Tapi kita berani menyatakan kebenaran, keadilan dan kasih. Demikian juga kita diajak untuk memerdekakan orang lain yang masih terbelenggu oleh ketidakbenaran, ketidakadilan dan ketidakpedulian. Kita diajak untuk peduli pada orang lain juga. Sehingga kita sebagai orang yang telah dimerdekakan dari jerat dosa bisa menjadi berkat bagi orang lain bukan cuma mencari berkat. Amin
Bahan Renungan : Lukas 16:19-31 & Ibrani 3:13-15
Tegal,
Septa Widodo Munadi
(disampaikan sebagai renungan di Kebaktian Doa Pagi di GKI Tegal
tanggal 19 Agustus 2011)
tanggal 19 Agustus 2011)
Lagu pujian :
KJ 396: 1 , 3
KJ 353: 1 - 3
Yesus Segala-galanya
KJ 396
1. Yesus segala-galanya, Mentari hidupku,
Sehari hari Dialah Penopang yang teguh.
Bila ‘ku susah, berkesah, aku pergi kepadan-Nya:
Sandaranku, Penghiburku, Sobatku.
2. Yesus segala-galanya, setia padaku;
Tak akan ‘ku menyangkalNya, Teman setiaku.
BersamaNya ‘ku tak sesat, Ia menjagaku tetap:
Ia tetap Kawan erat, Sobatku
Sungguh lembut Tuhan Yesus memanggil
KJ 353
1. Sungguh lembut Tuhan Yesus memanggil, memanggil aku dan kau,
Lihatlah Dia prihatin menunggu, menunggu aku dan kau.
Ref. “Hai mari datanglah, kau yang lelah, mari datanglah!”
Sungguh lembut Tuhan Yesus memanggil, “Kau yang sesat marilah!”
2. Janganlah ragu, Tuhanmu mengajak mengajak aku dan kau.
Jangan enggan menerima kasihNya terhadap aku dan kau.
3. Waktu serta kesempatan berlalu yang dib’ri aku dan kau;
Nanti gelap kematian membayang mengancam aku dan kau.