Bahan Renungan: Galatia 2: 15 - 21
Menjadi orang kedua tidaklah enak. Bukan
yang utama / pertama. Bukan orang yang
menonjol atau populer. Kita bisa saja begitu bekerja keras menyelesaikan
pekerjaan atau bagian kita tapi mungkin bisa jadi orang lain yang malah
mendapatkan penghormatan atas apa yang telah kita upayakan
/ selesaikan. Menjadi pribadi yang seakan terabaikan / terpinggirkan /
dilupakan.
Seorang Yohanes Pembaptis menjadi contoh
yang kita kenal sebagai perintis jalan bagi datangnya sang Mesias. Dia
berseru-seru pada semua orang untuk bertobat dan memberi diri dibaptis juga
mewartakan akan datangnya Mesias yaitu Yesus Kristus, Sang Anak Domba Allah.
Ketika pelayanan Yesus Kristus dan murid-muridNya makin besar. Dan banyak murid
Yohanes pembaptis yang berubah menjadi pengikut Yesus.
Namun, alih-alih merasa tersaingi malahan
Yohanes Pembaptis merasa
bangga karena memang demikianlah tujuan pelayanannya yaitu untuk mengarahkan
orang pada Kristus, itu adalah sukacitanya.
Berbesar hati ketika orang lain lebih
menonjol adalah sikap yang tidak mementingkan diri sendiri. Keegoisan mampu
dikalahkan oleh sikap kedewasaan yang mampu melihat kebaikan pada diri orang
lain. Ini tidaklah mudah. Kita dari kecil telah terbiasa dengan pengajaran untuk
meraih sesuatu, mencapai prestasi setinggi mungkin, mendapatkan lebih banyak
dari apa yang ada sekarang.
Sebagai orang tua seringkali juga hal itu
yang kita ajarkan pada anak-anak kita. Tuntutan yang begitu besar pada anak
untuk bersaing dengan teman-temannya dengan peraihan nilai yang lebih dari yang
lain. Jarang ada orang tua yang mengatakan:”Yach sudahlah, Nak, ga papa, kamu
ga sepeti dia kok. Kamu special. Terima kamu apa adanya.”
Inipun yang akhirnya bisa saya mengerti
kenapa ayah saya begitu kecewa pada saya yang gagal menyelesaikan kuliah.
“Masakan kamu ga bisa lulus kuliah padahal sering menjadi Juara Kelas??”
Prestasi, prestasi, dan prestasi. Itu yang
seringkali dituntut orang tua pada anak-anak. Tanpa peduli kalau anaknya itu
sedang kepayahan atau merasa tidak nyaman dengan apa yang sedang dia kejar.
Bisa jadi seorang anak meraih prestasi dengan baik tapi itu mungkin itu adalah
wujud dari ketakutannya pada orang tuanya saja.
Dalam pelayanan maupun di sebuah perusahaan
seringkali tuntutan terbesar adalah prestasi, sebuah raihan atau pencapaian
atas target atau terlaksananya program. Apabila kita terperosok pada tuntutan
itu, maka kita hanya akan sekedar pada pelaksanaan program semata. Yang penting
jalan. Yang penting ada kegiatan. Tidak ada spirit / semangat yang hidup dalam
menjalani pelayanan atau bekerja di sebuah perusahaan. Kita bukanlah terdiri
dari angka-angka yang menjelaskan arti diri kita. Tapi kita adalah pribadi yang
berharga, yang unik di mata Tuhan.
Tuhan punya rencana yang unik bagi setiap
kita. Jikalau Tuhan menempatkan kita dalam sebuah persekutuan jemaat, itu
berarti kita diminta menyatakan makna hidup kita dalam persekutuan tersebut.
Pemberian diri dan hidup kita dengan segala
apa yang bisa kita berikan untuk pembangunan jemaat menjadi satu hal berarti
ketimbang kita dinilai hanya sebagai alat untuk pencapaian program atau sasaran
yang telah ditetapkan di dalam jemaat.
Inipun seringkali menjadi pergumulan saya
pribadi di GKI Tegal. Apakah ketika saya di sini, saya hanya akan dipandang
sekedar sebagai seorang pekerja saja? Apa kontribusi yang bisa saya berikan
untuk pembangunan jemaat? Apakah keterlibatan saya yang bisa memberikan andil
di jemaat bukan semata-mata hanya sekedar menyelesaikan pekerjaan saya saja,
itu cukup?
Ketika saya berada disini untuk memimpin
Kebaktian Doa Pagi ini bukanlah karena mengajukan diri. Tapi pada waktu itu,
saat kekurangan pemimpin KD pagi, mbak Prima mengajukan saya untuk juga
dijadwalkan. Ini menjadi problem tersendiri bagi saya ketika saya harus berbagi
iman dengan Bapak/Ibu disini karena umur saya masih jauh lebih muda
dibandingkan yang hadir disini. Tidak mudah bagi saya. Lebih mudah kalau
menyampaikan pelajaran Agama di SMU di Bogor
dimana siswa-siswi jauh lebih muda dari saya. Namun ketika disini, saya
menganggap Bapak/Ibu jauh memiliki pengalaman iman lebih daripada saya. Namun
bila kesempatan ini diberikan, itu berarti saya pahami sebagai panggilan Tuhan
untuk saya bisa memberikan kontribusi pada jemaat di sini.
Itulah kenapa juga saya tidak asal-asalan
untuk menyampaikan renungan. Renungan yang saya bawakan haruslah menjadi
perenungan atau pergumulan iman yang pernah saya alami bersama Tuhan. Bukan cuma
pengetahuan semata yang bisa kita dapatkan dari buku atau internet. Tinggal
membacakan.
Pernah suatu kali saya menghadapi masalah
serius menjelang akan membawakan renungan. Dan saya konsultasikan ke Bu Pris,
apakah saya lebih baik mengundurkan diri terlebih dahulu atau bagaimana? Beliau
memberikan saran yang menurut saya bijaksana yaitu tetap lanjutkan saja, karena
dengan berbagi pergumulan iman saya dalam menghadapi masalah itu akan menjadi
kesaksian yang bisa menguatkan jemaat.
Ya, saya mengamini hal itu. Firman itu
haruslah menjadi daging. Artinya apa yang Tuhan ajarkan pada kita haruslah
mendarah-daging dalam hidup kita. Kita gumuli, kita renungkan apakah
prisnsip-prinsip atau tingkah laku kita sudah sesuai dengan firman Tuhan atau
belum? Mengapa belum? Mengapa tidak sesuai? Itulah yang kita cari penyebabnya.
Kita bisa belajar dari orang lain. Kita bertanya. Kita mencari jawaban dan
jalan keluar.
Karena satu hal yang harus tetap menjadi
iman kita bersama bahwa kita harus mau mengubah diri dengan mengijinkan Roh
Kudus bekerja mengubahkan kita. Karena bukan lagi diri kita sendiri yang ada
tapi Hidup Kristus yang telah dianugerahkan kepada kita ketika kita percaya
kepada-Nya. Perubahan itu adalah sebuah proses dan terus berkelanjutan. Kadang
kita gagal hidup di dalam Tuhan. Kadang kita jatuh dalam dosa yang menjauhkan
kita dari hadirat Tuhan.
Namun anugerah Tuhan jauh lebih besar
daripada dosa-dosa kita. Anugerah-Nya penuh kuasa untuk menyelamatkan kita.
Hidup Kristus itu akan terus mendorong kita untuk ke arah yang lebih baik dan
meninggalkan kegelapan. Oleh karena itu, kita harus memberikan kesaksian yang
jujur, yang apa adanya, yang tidak bisa ditutup-tutupi. Karena memang hidup
Kristus itu seperti terang yang mengusir kegelapan.
Ini juga yang sering kali menjadi
penghiburan bagi saya ketika jatuh. Saat dimana seakan tidak ada pertolongan,
tidak ada harapan, tersesat. Dengan berseru kepada Tuhan, Dia tidak tinggal
diam. Ada
kekuatan yang bukan dari diri saya yang memampukan saya untuk bangkit dari
keterpurukan. Seperti suatu energi baru untuk memampukan melangkah bahkan mampu
mengatasi rasa bersalah yang melumpuhkan.
Kita mungkin akan lebih mendengarkan orang
luar yang tidak kenal-mengenal dengan kita daripada dengan orang yang
dekat dengan kita. Karena orang-orang terdekat kita adalah orang-orang yang
kita tahu dan kenal tingkah lakunya. Seringkali kita cepat menghakimi apa yang
disampaikannya atau mencibir “Akh, aku sudah tahu belangmu / kelemahanmu”. Tapi
cobalah orang luar tersebut kita ajak masuk dalam persekutuan kita. Apakah
nanti respon kita akan sama dengan
ketika pertama kali ia berbicara kepada kita? Saya tidak yakin akan sama.
Itu juga kenapa kita diminta untuk terus
mendoakan pemimpin-pemimpin kita agar tidak menjadi batu sandungan. Agar mereka
bisa memimpin dengan keteladanan yang baik yang menguatkan bukan malah
melemahkan. Kita telah belajar banyak tentang hal tersebut.
Ini juga yang mungkin menjadi alasan banyak
orang enggan untuk menjadi pemimpin. Tidak mau hidupnya disorot. Meminjam
istilah Bu Elizabeth
“Hidup di dalam rumah kaca”. Dipantau. Menjadi bahan omongan orang banyak.
Menjadi biasa-biasa saja jauh lebih nyaman.
Saya perhatikan itu juga menjadi alasan penolakan orang untuk terlibat dalam
pelayanan atau diminta untuk menjadi panitia. Akh, saya bukan orang yang
baik-baik, masih banyak yang lebih baik daripada saya. Tidak mau ambil resiko.
Padahal entah sebagai jemaat biasa atau
pemimpin jemaat, sama saja kita dipanggil untuk tetap menjadi saksi Kristus.
Kita diminta menyatakan Kristus dalam hidup kita. Entah dalam masa sulit atau
masa enak, entah waktu kita jatuh atau dalam kejayaan. Tuhan tetap dapat
bekerja dalam segala perkara dalam hidup kita entah kita sadari atau tidak.
Maukah kita tetap hidup di dalam Tuhan atau
menolak berproses bersama Dia?
Maukah kita dibentuk dalam Dia melalui
persekutuan, pelayanan dan kesaksian kita dalam jemaat di sini?
Biarlah itu menjadi perenungan kita
bersama. Amin.
Tegal, Septa Widodo Munadi
(disampaikan pada Kebaktian Doa Pagi @GKI Tegal - 22 Januari 2013)
Lagu: NKB 21:1,2
NKB 104:1,2